Suaranya
begitu mengganggu, memutar pelan ke kiri dan kanan. aku hanya diam. memperhatikannya dengan
sedikit bingung. Sebenarnya, Ia sudah cukup tua untuk terus melakukan hal
itu. matahari agak terik. namun, perlahan hembusan angin darinya membuatku merasa lega. Meski masih terasa beberapa butiran
keringat dikeningku. Aku sibuk merapikan jelbab hijau yang kukenakan. Sambil
tertawa dan berbagi cerita dengan Tiara, sahabatku. Ia gadis yang aku kenal 10
tahun yang lalu. Gadis periang, lucu, jail dan juga cerewet. Meski dia bukan gadis yang cengeng,
tapi aku pernah membuatnya menangis. dan Dia selalu tersenyum malu jika aku mengungkit lagi cerita itu.
Ia
terlihat berbeda sekarang. Gaya bicaranya terdengar lebih dewasa, meski sifat
jailnya masih terasa sama seperti dulu. Jelas saja, semua telah berubah. 10 tahun telah
berlalu dan itu bukan waktu yang singkat. Keluarga, Usia, lingkungan, kebiasaan
juga pergaulan dapat merubah siapa saja. Tapi, tetap saja ia Tiara, sahabatku
yang dulu.
Tadi
sore ketika aku menjempunya di terminal, kebiasaan itu masih ia lakukan.
Berteriak seraya melambaikan tangan memanggil namaku. Ia berjalan setengah
berlari, tangannya terbuka lebar, juga tanganku. Lalu ia memelukku erat. Entah berapa banyak orang yang
memperhatikan kami, aku telah menutup mata untuk itu. Yang jelas aku sangat merindukannya.
~**~
Aku
sudah siap dengan pakaian yang ku kenakan. Kami akan segera menuju ke tempat yang telah
membesarkan kami. Tempat yang kami sebut “Rumah Kedua”. Aku membuka lemari
mengambil tas juga dompet. Lalu terdiam sejenak memperhatikan sesuatu yang
masih tertempel di pintu lemari. Wajah yang polos dengan gaya dua jari.
Foto-foto itu terlihat kusam termakan usia. Tapi tidak untuk cerita tentangnya. Ia
masih tergambar jelas, takkan
pudar walau sedikitpun.
Dan
perjalanan pun dimulai. Aku memandang langit yang kelam tanpa cahaya. angkasa terlihat tak
bersemangat malam ini. Tak seperti kami yang amat bahagia. Sepanjang jalan, cerita masa lalu pun
terulang kembali. Tak sabar rasanya ingin segera sampai ke tempat yang penuh
dengan kenangan itu.
Ada
acara besar yang digelar di
sana malam ini. Acara akhir tahun yang ditunggu oleh kami
para perindu,
agar dapat merasakan kembali hangatnya rasa kekeluargaan layaknya di rumah
sendiri. Malam ini semuanya akan berkumpul. Mengenang kembali kisah dulu dengan
canda dan tawa. Membayangkannya saja begitu membahagiakan. Dan kami akan jadi
salah satu pelengkap kebahagiaan itu malam ini.
~**~
Aku
melirik Tiara yang berdiri disampingku. Hujan lebat menghentikan langkah kami.
Sekujur tubuh sudah basah kuyup. Langit memang tak bersahabat. Kami bermain
kejar-kejaran malam itu. lalu kami harus mengalah kepada hujan dan segera
mencari tempat berteduh. Sungguh sebuah perjuangan. Meski demikian, niat kami
untuk tetap melanjutkan perjalanan masih membara, tak akan padam oleh deraian
air hujan. Begitu kata Tiara, dengan semangat 45.
~**~
Hujan
telah reda ketika kami sampai di pintu gerbang yang dipenuhi orang-orang yang
berdatangan. Kami berhenti sejenak sebelum akhirnya masuk dengan pakaian yang
basah kuyup. Langkah pertama dari gerbang itu membuka kembali sejuta kenangan
indah yang seolah menari-nari jelas di pelupuk mata. Aku menarik nafas panjang.
Selalu merasa gugup setiap kali kembali kesini.
“Zia, welcome” ujar
Tiara yang bergaya layaknya seseorang yang sedang menyambut tamu terhormat.
Menundukkan kepala dan menyalamiku. Aku tertawa melihat tingkahnya.
Beberapa
menit berlalu. Kami masih berdiri diam diparkiran. Memerhatikan suasana asrama
yang tampak sangat berbeda. Semua asrama dan kelas tampak baru dengan warna
hijau muda. Tak ada lagi barak, asrama yang terbuat dari kayu. Asrama yang pernah
jadi tempat istirahat kami selama setengah tahun. Banyak coretan, juga gambar di dindingnya.
Saat jam istirahat siang, bangunan
itu bukan tempat yang cocok untuk melepas lelah. Loteng
kamar yang rendah membuat kami serasa berada di bawah terik matahari saat
pramuka. Karenanya, kami lebih memilih untuk menghabiskan waktu siang di bawah
pohon-pohon rindang di depan asrama. Kini susunan kayu-kayu itu telah digantikan oleh dinding yang kokoh. Kayu penuh
goresan pun hanya tinggal kenangan.
~**~
Cahaya
mercon nampak indah dengan latar langit yang kelabu. Disertai suara riuh tepuk
tangan penonton yang menjadikan suasana semakin semarak. Hujan yang mengguyur tak mengurangi minat
mereka untuk tetap datang melihat para artis
semalam yang sedang beraksi. Aku, juga semua yang datang takjub dengan
kemegahan panggung yang dibuat. Bak istana megah di negeri dongeng. Paduan berbagai warna membuatnya
terlihat sempurna.
Para
santri juga guru pasti bekerja amat keras untuk
membuat kami semua
terkesima. Lebih dari 40 triplek telah dihabiskan untuk membuat panggung sebesar itu. Aku terus tersenyum
membayangkan kerja keras mereka yang diwarnai dengan gelak tawa. Pernah menjadi
bagian dari itu semua merupakan salah satu kebahagiaan yang tak kan pernah
tergantikan.
Satu
persatu acara dimainkan dengan apik. Sampai lagu kebanggaan dinyanyikan
kembali. Lagu yang membuat Tiara, aku, juga para alumni terhenyuh. Aku menoleh ke
arahnya yang berdiri tepat di
belakangku. Ia menyeka air mata dan mencoba tersenyum. Air mata rindu itu juga
terlihat di mata mereka. Rindu setiap detik yang telah terlewatkan disini. Saat
berlari bersama ke sekolah, dapur, juga mesjid agar tidak terlambat. kami tetap
bisa tersenyum setelah mendapatkan hukuman meski tak jarang air mata hadir
terlebih dahulu. Gotong royong setiap jum’at, pramuka setiap minggu, pula
hiking setiap tahunnya. Susah, senang, tangis dan tawa tak pernah absen dalam
setiap perjalanan yang telah kami lalui.
~**~
Cahaya
mentari pagi begitu hangat. Hujan yang mengguyur semalam tak membuatnya enggan untuk terbit pagi ini. Pegunungan yang berjejer rapi di sebelah barat
juga masih ditutupi kabut. Beberapa burung dengan gagahnya mulai berangkat
mencari nafkah dan yang lainnya masih bernyanyi merdu di dahan-dahan pohon. Suasana pagi masih sangat
tenang disini, di rumah ke dua kami. Tak ada suara deru sepeda motor yang hilir mudik.
Seperti yang biasa kudengar setiap pagi.
Kami
masih betah untuk menghabiskan beberapa jam lagi disini. Aku dan Tiara memilih untuk
berkeliling asrama yang tampak lebih indah di pagi hari. Musim gugur telah
tiba. Ratusan dedaunan berguguran menutupi jalan. Di taman hanya terlihat
beberapa bunga yang mekar. Tak banyak warna, hanya merah dan kuning. Tak
seperti biasanya.
Dan pohon rindang tempat kami berteduh dulu,
masih berdiri kokoh di sana. Dahannya bertambah banyak. Ia terlihat semakin
tua. Lalu aku tersenyum, setelah mengatakan sesuatu kepadanya.
“siapa ?” tanya
Tiara penasaran.
Aku hanya tersenyum
sambil menggeleng-geleng kepala.
Saat
bola api raksasa terasa semakin panas, kami bergegas untuk pulang. Keputusan kami untuk menginap semalam memang tepat. Karena aku dapat
kembali menghirup udara pagi yang bersih tanpa polusi. Melihat para santri
hilir mudik dengan sejumlah pekerjaan. Mendengar bahasa yang mereka tuturkan.
Bahasa yang telah lama kutinggalkan.
Beberapa menit berlalu dan kami baru saja
melewati pintu gerbang. Aku menoleh sekali lagi, melihat semuanya semakin jauh.
Dedaunan melambai-lambai mengucapkan selamat tinggal. Lalu,.
“teruslah tumbuh,
suatu saat nanti aku akan kembali bersama seseorang yang ingin melihat betapa
indahnya engkau saat musim semi” ujar Tiara dengan suara lantang mengulang
sesuatu yang kukatakan tadi. Alisnya naik turun seolah mencoba merayuku. Lantas
kami tertawa bersama. Sesaat aku menutup mata menikmati semilir angin juga
kebahagiaan yang terus membuatku tersenyum.
Oleh : Ira Maulida
0 komentar:
Posting Komentar