Forum Menulis Mahasiswa Institut

Sabtu, 21 Maret 2015

Tiara, Kita Sudah Tiba


Suaranya begitu mengganggu, memutar pelan ke kiri dan kanan. aku hanya diam. memperhatikannya dengan sedikit bingung. Sebenarnya, Ia sudah cukup tua untuk terus melakukan hal itu. matahari agak terik. namun, perlahan hembusan angin darinya membuatku merasa lega. Meski masih terasa beberapa butiran keringat dikeningku. Aku sibuk merapikan jelbab hijau yang kukenakan. Sambil tertawa dan berbagi cerita dengan Tiara, sahabatku. Ia gadis yang aku kenal 10 tahun yang lalu. Gadis periang, lucu, jail dan juga cerewet. Meski dia bukan gadis yang cengeng, tapi aku pernah membuatnya menangis. dan Dia selalu tersenyum malu jika aku mengungkit lagi cerita itu.
Ia terlihat berbeda sekarang. Gaya bicaranya terdengar lebih dewasa, meski sifat jailnya masih terasa sama seperti dulu. Jelas saja, semua telah berubah. 10 tahun telah berlalu dan itu bukan waktu yang singkat. Keluarga, Usia, lingkungan, kebiasaan juga pergaulan dapat merubah siapa saja. Tapi, tetap saja ia Tiara, sahabatku yang dulu.
Tadi sore ketika aku menjempunya di terminal, kebiasaan itu masih ia lakukan. Berteriak seraya melambaikan tangan memanggil namaku. Ia berjalan setengah berlari, tangannya terbuka lebar, juga tanganku. Lalu ia memelukku erat. Entah berapa banyak orang yang memperhatikan kami, aku telah menutup mata untuk itu. Yang jelas aku sangat merindukannya.
~**~
Aku sudah siap dengan pakaian yang ku kenakan. Kami akan segera menuju ke tempat yang telah membesarkan kami. Tempat yang kami sebut “Rumah Kedua”. Aku membuka lemari mengambil tas juga dompet. Lalu terdiam sejenak memperhatikan sesuatu yang masih tertempel di pintu lemari. Wajah yang polos dengan gaya dua jari. Foto-foto itu terlihat kusam termakan usia. Tapi tidak untuk cerita tentangnya. Ia masih tergambar jelas, takkan pudar walau sedikitpun.
Dan perjalanan pun dimulai. Aku memandang langit yang kelam tanpa cahaya. angkasa terlihat tak bersemangat malam ini. Tak seperti kami yang amat bahagia. Sepanjang jalan, cerita masa lalu pun terulang kembali. Tak sabar rasanya ingin segera sampai ke tempat yang penuh dengan kenangan itu.
Ada acara besar yang digelar di sana malam ini. Acara akhir tahun yang ditunggu oleh kami para perindu, agar dapat merasakan kembali hangatnya rasa kekeluargaan layaknya di rumah sendiri. Malam ini semuanya akan berkumpul. Mengenang kembali kisah dulu dengan canda dan tawa. Membayangkannya saja begitu membahagiakan. Dan kami akan jadi salah satu pelengkap kebahagiaan itu malam ini.
~**~
Aku melirik Tiara yang berdiri disampingku. Hujan lebat menghentikan langkah kami. Sekujur tubuh sudah basah kuyup. Langit memang tak bersahabat. Kami bermain kejar-kejaran malam itu. lalu kami harus mengalah kepada hujan dan segera mencari tempat berteduh. Sungguh sebuah perjuangan. Meski demikian, niat kami untuk tetap melanjutkan perjalanan masih membara, tak akan padam oleh deraian air hujan. Begitu kata Tiara, dengan semangat 45.
~**~
Hujan telah reda ketika kami sampai di pintu gerbang yang dipenuhi orang-orang yang berdatangan. Kami berhenti sejenak sebelum akhirnya masuk dengan pakaian yang basah kuyup. Langkah pertama dari gerbang itu membuka kembali sejuta kenangan indah yang seolah menari-nari jelas di pelupuk mata. Aku menarik nafas panjang. Selalu merasa gugup setiap kali kembali kesini.
“Zia, welcome” ujar Tiara yang bergaya layaknya seseorang yang sedang menyambut tamu terhormat. Menundukkan kepala dan menyalamiku. Aku tertawa melihat tingkahnya.
Beberapa menit berlalu. Kami masih berdiri diam diparkiran. Memerhatikan suasana asrama yang tampak sangat berbeda. Semua asrama dan kelas tampak baru dengan warna hijau muda. Tak ada lagi barak, asrama yang terbuat dari kayu. Asrama yang pernah jadi tempat istirahat kami selama setengah tahun. Banyak coretan, juga gambar di dindingnya. Saat jam istirahat siang, bangunan itu bukan tempat yang cocok untuk melepas lelah. Loteng kamar yang rendah membuat kami serasa berada di bawah terik matahari saat pramuka. Karenanya, kami lebih memilih untuk menghabiskan waktu siang di bawah pohon-pohon rindang di depan asrama. Kini susunan kayu-kayu itu telah digantikan oleh dinding yang kokoh. Kayu penuh goresan pun hanya tinggal kenangan.
~**~
Cahaya mercon nampak indah dengan latar langit yang kelabu. Disertai suara riuh tepuk tangan penonton yang menjadikan suasana semakin semarak. Hujan yang mengguyur tak mengurangi minat mereka untuk tetap datang melihat para artis semalam yang sedang beraksi. Aku, juga semua yang datang takjub dengan kemegahan panggung yang dibuat. Bak istana megah di negeri dongeng. Paduan berbagai warna membuatnya terlihat sempurna.
Para santri juga guru pasti bekerja amat keras untuk membuat kami semua terkesima. Lebih dari 40 triplek telah dihabiskan untuk membuat panggung sebesar itu. Aku terus tersenyum membayangkan kerja keras mereka yang diwarnai dengan gelak tawa. Pernah menjadi bagian dari itu semua merupakan salah satu kebahagiaan yang tak kan pernah tergantikan.
Satu persatu acara dimainkan dengan apik. Sampai lagu kebanggaan dinyanyikan kembali. Lagu yang membuat Tiara, aku, juga para alumni terhenyuh. Aku menoleh ke arahnya  yang berdiri tepat di belakangku. Ia menyeka air mata dan mencoba tersenyum. Air mata rindu itu juga terlihat di mata mereka. Rindu setiap detik yang telah terlewatkan disini. Saat berlari bersama ke sekolah, dapur, juga mesjid agar tidak terlambat. kami tetap bisa tersenyum setelah mendapatkan hukuman meski tak jarang air mata hadir terlebih dahulu. Gotong royong setiap jum’at, pramuka setiap minggu, pula hiking setiap tahunnya. Susah, senang, tangis dan tawa tak pernah absen dalam setiap perjalanan yang telah kami lalui.
~**~
Cahaya mentari pagi begitu hangat. Hujan yang mengguyur semalam tak membuatnya enggan untuk terbit pagi ini. Pegunungan yang berjejer rapi di sebelah barat juga masih ditutupi kabut. Beberapa burung dengan gagahnya mulai berangkat mencari nafkah dan yang lainnya masih bernyanyi merdu di dahan-dahan pohon. Suasana pagi masih sangat tenang disini, di rumah ke dua kami. Tak ada suara deru sepeda motor yang hilir mudik. Seperti yang biasa kudengar setiap pagi.
Kami masih betah untuk menghabiskan beberapa jam lagi disini. Aku dan Tiara memilih untuk berkeliling asrama yang tampak lebih indah di pagi hari. Musim gugur telah tiba. Ratusan dedaunan berguguran menutupi jalan. Di taman hanya terlihat beberapa bunga yang mekar. Tak banyak warna, hanya merah dan kuning. Tak seperti biasanya.
 Dan pohon rindang tempat kami berteduh dulu, masih berdiri kokoh di sana. Dahannya bertambah banyak. Ia terlihat semakin tua. Lalu aku tersenyum, setelah mengatakan sesuatu kepadanya.
“siapa ?” tanya Tiara penasaran.
Aku hanya tersenyum sambil menggeleng-geleng kepala.
Saat bola api raksasa terasa semakin panas, kami bergegas untuk pulang. Keputusan kami untuk menginap semalam memang tepat. Karena aku dapat kembali menghirup udara pagi yang bersih tanpa polusi. Melihat para santri hilir mudik dengan sejumlah pekerjaan. Mendengar bahasa yang mereka tuturkan. Bahasa yang telah lama kutinggalkan.
 Beberapa menit berlalu dan kami baru saja melewati pintu gerbang. Aku menoleh sekali lagi, melihat semuanya semakin jauh. Dedaunan melambai-lambai mengucapkan selamat tinggal. Lalu,.
“teruslah tumbuh, suatu saat nanti aku akan kembali bersama seseorang yang ingin melihat betapa indahnya engkau saat musim semi” ujar Tiara dengan suara lantang mengulang sesuatu yang kukatakan tadi. Alisnya naik turun seolah mencoba merayuku. Lantas kami tertawa bersama. Sesaat aku menutup mata menikmati semilir angin juga kebahagiaan yang terus membuatku tersenyum.

 Oleh : Ira Maulida

0 komentar:

Posting Komentar