Forum Menulis Mahasiswa Institut

Rabu, 25 Maret 2015

(Lanjutan) Menelan Air Mata


Ia dan keluarganya tinggal di pinggir kota ini. untuk sementara aku menetap di sana. rumahnya terbuat dari papan dengan warung nasi di depannya. Aku membantu keluarganya sebagai tanda balas budi atas pinjaman tilam dan bantal. Beberapa progress kudapatkan dan terlanjur menikmati suasana ini. Lalu mengabarkan perihal keadaanku ke kampung. Orang tuanya dan orang tuaku pernah dekat saat kami masih di kampong. Hingga ayahku dapat mengelus dada, lega, karena aku sedang bersama mereka. Ayah mengirimkan uang lewat rekening latisha. Saat itu aku bahkan tidak tahu bahwa uang itu adalah hasil dari penjualan sawah.

                Kali ini aku merasa berbakat. Aku membuka usaha servis elektronik di sebelah rumahnya. Orang tuanya menyewakan sebidang tanah kecil untuk tempat usahaku. Semuanya terasa berjalan landai. Hingga aku dapat meminang latisha dan mengganti uang ayah. Kami membina rumah tangga ini. Dengan sejuta imajinasi dan sebuah masalah besar.


                Rumah mungil kami mulai ditata olehnya. Banyak poster ka’bah yang ditempel di dinding rumah kami. Aku pernah menanyakannya, kenapa tidak lagi eiffel?. Sahutnya, aku sedang merindukan ini. Sambil melihat ke arah poster itu. Jantungku jatuh dalam. Aku lekas beranjak mengambil beberapa potong kayu bekas dan mulai membuat sesuatu dengan segera. Mungkin suara bising di belakang rumah membuatnya penasaran untuk melihat apa yang sedang ku kerjakan. Ia tertawa pelan sambil menyandarkan kepalanya di dahan pintu. Ia mengerti maksudku. Aku kegirangan. Lantas, ia membawa beberapa teguk teh untuk menyegarkan tenggorokanku. Melihat aku menggergaji, memalu dan menciptakan ini. Kotak tabungan. “Gambarlah”. Aku menyuruhnya. Lalu ia menggambarkannya.

                Aku yang bekerja, ia yang merumuskan financial. Tentang berapa banyak yang harus ditabung, sedekah, dan untuk kebutuhan sehari-hari. Lalu waktu membawa kami menjadi jaya. Usaha ini telah menciptakan lapangan kerja untuk masyarakat setempat. Para pegawaiku menyanjung prestasi kami yang bisa membangun usaha sesukses ini. Tapi, mereka tidak tahu bahwa ada kekosongan dalam gemerlip kejayaan ini.

                Delapan tahun sudah, rumah tangga ini membentangkan layar. Namun, kami tidak memiliki momongan. Itulah masalah besarnya. Kami sudah berusaha sebisa mungkin untuk menanggulinya. Aku hampir putus asa, “semua cara ini tidak berhasil”. Ia menjawab, “bukan tidak berhasil, tapi belum berhasil.”

                Kotak tabungan ini mulai tampak tua. Kadarnya, sudah 29 kali penuh dan telah disetorkan ke bank. Kami mengaharapkan, tabungan itu bisa membawa kami ke tanah suci. Bersama-sama. Menggembirakan hasratnya. Hingga setelah tabungan kami cukup untuk melaksanakan umrah, kabar baik datang. Latisha mengandung. Lidahku sampai kaku untuk menanggapi kabar baik itu.
“Istriku, saat itu aku melihat wajahmu dan orang tua kita, dalam dzu’ doa mendalam nan panjang di detik-detik waktu, seusai shalat.”.

                Latisha membalikkan haluan rencana awal kami. Aku ingin kita ke sana dengan dia. Aku terenyuh serta mengiyakan. Katanya, ia akan membantuku dengan keras untuk biaya kelahirannya. Tahun itu adalah waktu-waktu yang menggembirakan. Air mukanya juga berubah. Tampak lepas. Ia mulai sering bernyanyi ketika menghidangkan makanan. Juga membaca quran setelah shalat. Ia imajinatif. Di poster ka’bah yang sudah tua dulu, ia menuliskan kalimat, azkadina, kita akan ke sana. Seketika ku elus kepalanya setiap kali aku mengingatnya. Begitu menyayanginya.

                Sampai, hari kelahirannya sudah dekat. Aku tidak melihat rasa takut di wajah latisha. Namun, akhir-akhir ini wajahnya memucat. Aku menyuruhnya untuk istirahat dan tidak bekerja terlalu keras. Tapi ia bersikeras. Aku dan latisha selalu berlomba menuju dapur dan kamar mandi. Ia merebut belanga dari tanganku, juga merebut sikat ketika aku mencuci piring dan baju. Dengannya aku selalu lemah. Rasanya ia akan marah jika aku tidak mengalah.

                Hari kamis, ia mulai merasakan tanda-tanda kelahiran permata kami. Ia mengeluh sakit, namun juga tertawa. Aku langsung membawanya panic. Melihat wajahnya yang kian memucat. Setibanya di rumah sakit, ia langsung ditangani dengan serius. Para perawat membawanya dengan ranjang sorong. Aku tidak tahu apa namanya. Lantas kebingungan datang. Mengapa penanganan ini seperti gawat darurat. Aku meyertainya. Ia melihatku tersenyum.

                Gerakan para perawat itu cepat. Latisha sudah di dalam. Kemudian dokter keluar dan memintaku untuk menandatangani operasi sesar untuk latisha. Kondisinya sangat lemah untuk melahirkan secara normal. Aku menunggu cemas. Menghitung ribuan detik. Sampai dokter yang menanganinya keluar dan mengabarkan bayi kami lahir dengan kondisi baik dan sempurna. Namun, latisha kritis.

                Beberapa saat setelah itu, aku belum diizinkan untuk melihat kondisi keduanya. Ini membuatku semakin panic. Kemudian malam itu menjadi malam hitam pekat ketika dokter mengabarkan, bahwa latisha sudah tiada. Dan satu hari setelahnya, ayahku menghadap yang kuasa.

                Aku menghadiri pemakaman keduanya. Tak bisa kugambarkan bagaimana perihnya itu. Sampai aku tak tau lagi, mata sembam mana yang menangisi latisha dan ayahku. Rasanya seperti dibelah, dihujam bertubi-tubi sampai sendi-sendiku lemah. Kurasa ibuku pun begitu. Namun beliau cenderung lebih tabah. Mampu menasehatiku sedang ia terluka.

                Ibu, aku membawanya pulang ke rumahku yang sekarang. Beberapa waktu setelah mereka tiada. Beliau juga memintaku untuk melakukannya. Di rumah mungil itu, kami saling mengobati satu sama lain. Mulai tergambar wajah rindang di wajah ibu dan orang tua latisha. Kami membesarkan azkadina bersama-sama. Mata dan hidungnya persis seperti latisha. Ia tumbuh dengan baik dalam perspektif anak tanpa ibu. Menginjak usianya dua tahun, ia sudah bisa memanggilku “ayah”, aku mengajarinya, “mama”.

                Poster ka’bah itu yang membuatku menamakan latisha kecil, azkadina. “istriku, saat itu aku melihat wajahmu dan orang tuaku, dalam zu’ doa panjang nan mendalam di detik-detik waktu, seusai shalat.”. Aku tidak tau mengapa harus nama itu. Setiap kali melihat poster itu, aku selalu mengenang mimpinya untuk ke sana. Bahkan saat sepintas aku berlalu melihatnya. Dengan segera, ingin segera kubawa anak manis ini bersamaku, juga bersama latisha yang terus bersemayam di dalam hati. Mimpi-mimpinya seakan masih hidup, terus mendorongku untuk mewujudkannya.

                Suatu hari, aku berniat memindahkan poster itu ke kamarku, agar azka bisa melihatnya terus sebelum ia tertidur. Pelan-pelan, kulepaskan lakban yang telah menempel lama di poster itu. Setelah poster itu terlepas sempurna. Senyumanku yang sedari tadi pagi direnggut. Terpaku di depan dinding dengan pandangan yang dihalangi air, tak jemu kuhapus berkali-kali.

                Aku melihat sebuah gambar yang lebih tua tertempel di balik poster ka’bah itu. Lukisan menara eiffel goresan tangannya. ada tulisan mungil di sudut lukisan itu “zafran, bawa aku ke sana!”, ketika aku membacanya, latisha dengan rambut cocang lipan, memandangku dan mengucapkan kalimat itu.

                Memori yang tertancap dalam waktu itu, timbul dan menyeruak. Menguasai seluruh partisi otak. Aku meninggalkan toko ku yang masih terbuka. Menuju bank dan menarik seluruh tabungan yang telah latisha kumpulkan. Seperempat dari uang itu kubawa pulang ke rumah dan sisanya ku tabungkan ke bank yang berlabel internasional. Dua hari sebelum aku dan azkadina berangkat, telah kutitip toko ku itu kepada sepupu latisha, shamir. Berpamitan kepada orangtua kami, nenek dan kakek azka, mereka menangis. Sedang ibuku mengatakan, “ibu sudah meridhaimu nak”.

                Aku melihat anak perempuanku kegirangan. Padahal ia tidak tau apa-apa. Sebuah travel umrah membimbing setiap langkah perjalanan panjang kami. Ke Makkah Al-Munawwarah, tanah yang dirindui. Hingga kami tiba di sana. Melaksanakan ibadah tersebut dengan membawa air mata dalam setiap langkah. Tiba sudah arah wajahku, ke hadapan ka’bah, aku melihatnya . .  . “istriku, saat itu aku melihat wajahmu dan orang tua kita, dalam zu’ doa panjang nan mendalam, di detik-detik waktu, seusai shalat.”.

                Esok adalah hari kepulangan kami ke tanah air. Lalu aku bertanya kepada azkadina, usianya masih 2 tahun delapan bulan. “haruskah ayah membawa ibumu kesana?”. Azka hanya tertawa polos, “nak, malam ini kita ke sana”. Setelah shalat isya, aku mengepak ransel dan membawa azka ke luar hotel. Menaiki banyak taksi dan menghindar dari intaian travel yang bertanggung jawab atas kehilangan kami. Tampaknya kami sudah di luar kota. Aku turun dan mencoba menjalin komunikasi dengan beberapa pengemudi bis. Untuk mengantar kami ke bandara, dan terbang ke Paris.

^^^
                Di Paris sedang musim gugur sekarang, hawa dingin mulai terasa. Aku menggendong azka, di belakang punggungku. Menempuh perjalanan untuk menemukan menara megah ini. Semalaman aku di sini, tidak tahu harus menginap di mana. Untuk menyewa hotel di kota ini rupanya sangat mahal. Bila pun harus, uang kami tidak akan cukup untuk bertahan di sini dan pulang.

                Malam ini aku di bawah menara ini, latisha. Bersama anak kita, azkadina. Seandainya saja engkau menjadi  nyata, pasti aku akan memelukmu dengan erat. Beginilah cerita ini ku akhiri. Mereka sudah panic memandangiku, lampu mobil ambulan sudah tampak dari jauh.
“istriku, saat iini aku sedang melihat wajahmu, orang tua kita dan juga azkadina, dalam zu’ doa panjang nan mendalam, di detik-detik waktu nafasku yang mulai terpenggal,.”.
Azka, telanlah airmatamu nanti, ,
^^^
                Inilah cerita yang ditulis ayahku, sebelum ia pergi meninggalkanku bersama ibu. Bibi aisyah bilang, ayahku meninggal karena luka tusuk di perutnya. Kasus itu terjadi saat kami berada di gang gelap bangunan tinggi. Kami dirampok waktu itu, dan pelakunya telah ditangkap. Tulisan ayahku ini pernah ditempel di pilar baja sebelah ini. Dan aku akan menulis kisahku di sini pula.

Bibi aisyah, ia ibu angkatku sekarang. Sebelumnya aku sempat sulit menerjemahkan tulisan ayah ke dalam bahasa prancis. Tapi, kini aku telah mengerti setelah tinggal beberapa bulan di jogjakarta. Aku bahkan tidak tau dari mana orang tuaku berasal. Jika bisa, aku ingin menjumpai nenek dan kakek, ayah dan ibu dari orang tuaku.

                Dulu aku tidak mengerti mengapa ayah menyuruhku untuk menelan airmata. Dan sekarang, makna itu bisa kutangkap dengan jelas. Terima kasih ayah dan ibu, betapa engkau menyayangiku. Semoga Allah mempertemukan kita di syurga kelak.


                                                                                                                                       azkadina latisha binti zafran

oleh : MR. OB

0 komentar:

Posting Komentar