Ia dan keluarganya tinggal di pinggir kota ini. untuk sementara aku menetap di sana. rumahnya terbuat dari papan dengan warung nasi di depannya. Aku membantu keluarganya sebagai tanda balas budi atas pinjaman tilam dan bantal. Beberapa progress kudapatkan dan terlanjur menikmati suasana ini. Lalu mengabarkan perihal keadaanku ke kampung. Orang tuanya dan orang tuaku pernah dekat saat kami masih di kampong. Hingga ayahku dapat mengelus dada, lega, karena aku sedang bersama mereka. Ayah mengirimkan uang lewat rekening latisha. Saat itu aku bahkan tidak tahu bahwa uang itu adalah hasil dari penjualan sawah.
Kali
ini aku merasa berbakat. Aku membuka usaha servis elektronik di sebelah
rumahnya. Orang tuanya menyewakan sebidang tanah kecil untuk tempat usahaku.
Semuanya terasa berjalan landai. Hingga aku dapat meminang latisha dan
mengganti uang ayah. Kami membina rumah tangga ini. Dengan sejuta imajinasi dan
sebuah masalah besar.
Rumah
mungil kami mulai ditata olehnya. Banyak poster ka’bah yang ditempel di dinding
rumah kami. Aku pernah menanyakannya, kenapa
tidak lagi eiffel?. Sahutnya, aku sedang merindukan ini. Sambil melihat ke arah
poster itu. Jantungku jatuh dalam. Aku lekas beranjak mengambil beberapa potong
kayu bekas dan mulai membuat sesuatu dengan segera. Mungkin suara bising di
belakang rumah membuatnya penasaran untuk melihat apa yang sedang ku kerjakan.
Ia tertawa pelan sambil menyandarkan kepalanya di dahan pintu. Ia mengerti
maksudku. Aku kegirangan. Lantas, ia membawa beberapa teguk teh untuk
menyegarkan tenggorokanku. Melihat aku menggergaji, memalu dan menciptakan ini.
Kotak tabungan. “Gambarlah”. Aku
menyuruhnya. Lalu ia menggambarkannya.
Aku
yang bekerja, ia yang merumuskan financial. Tentang berapa banyak yang harus
ditabung, sedekah, dan untuk kebutuhan sehari-hari. Lalu waktu membawa kami
menjadi jaya. Usaha ini telah menciptakan lapangan kerja untuk masyarakat
setempat. Para pegawaiku menyanjung prestasi kami yang bisa membangun usaha
sesukses ini. Tapi, mereka tidak tahu bahwa ada kekosongan dalam gemerlip
kejayaan ini.
Delapan
tahun sudah, rumah tangga ini membentangkan layar. Namun, kami tidak memiliki
momongan. Itulah masalah besarnya. Kami sudah berusaha sebisa mungkin untuk
menanggulinya. Aku hampir putus asa, “semua
cara ini tidak berhasil”. Ia menjawab, “bukan
tidak berhasil, tapi belum berhasil.”
Kotak
tabungan ini mulai tampak tua. Kadarnya, sudah 29 kali penuh dan telah
disetorkan ke bank. Kami mengaharapkan, tabungan itu bisa membawa kami ke tanah
suci. Bersama-sama. Menggembirakan hasratnya. Hingga setelah tabungan kami
cukup untuk melaksanakan umrah, kabar baik datang. Latisha mengandung. Lidahku
sampai kaku untuk menanggapi kabar baik itu.
“Istriku,
saat itu aku melihat wajahmu dan orang tua kita, dalam dzu’ doa mendalam nan
panjang di detik-detik waktu, seusai shalat.”.
Latisha
membalikkan haluan rencana awal kami. Aku ingin kita ke sana dengan dia. Aku
terenyuh serta mengiyakan. Katanya, ia akan membantuku dengan keras untuk biaya
kelahirannya. Tahun itu adalah waktu-waktu yang menggembirakan. Air mukanya
juga berubah. Tampak lepas. Ia mulai sering bernyanyi ketika menghidangkan
makanan. Juga membaca quran setelah shalat. Ia imajinatif. Di poster ka’bah
yang sudah tua dulu, ia menuliskan kalimat, azkadina,
kita akan ke sana. Seketika ku elus kepalanya setiap kali aku mengingatnya.
Begitu menyayanginya.
Sampai,
hari kelahirannya sudah dekat. Aku tidak melihat rasa takut di wajah latisha.
Namun, akhir-akhir ini wajahnya memucat. Aku menyuruhnya untuk istirahat dan
tidak bekerja terlalu keras. Tapi ia bersikeras. Aku dan latisha selalu
berlomba menuju dapur dan kamar mandi. Ia merebut belanga dari tanganku, juga
merebut sikat ketika aku mencuci piring dan baju. Dengannya aku selalu lemah.
Rasanya ia akan marah jika aku tidak mengalah.
Hari
kamis, ia mulai merasakan tanda-tanda kelahiran permata kami. Ia mengeluh
sakit, namun juga tertawa. Aku langsung membawanya panic. Melihat wajahnya yang
kian memucat. Setibanya di rumah sakit, ia langsung ditangani dengan serius.
Para perawat membawanya dengan ranjang sorong. Aku tidak tahu apa namanya.
Lantas kebingungan datang. Mengapa penanganan ini seperti gawat darurat. Aku
meyertainya. Ia melihatku tersenyum.
Gerakan
para perawat itu cepat. Latisha sudah di dalam. Kemudian dokter keluar dan
memintaku untuk menandatangani operasi sesar untuk latisha. Kondisinya sangat
lemah untuk melahirkan secara normal. Aku menunggu cemas. Menghitung ribuan
detik. Sampai dokter yang menanganinya keluar dan mengabarkan bayi kami lahir
dengan kondisi baik dan sempurna. Namun, latisha kritis.
Beberapa
saat setelah itu, aku belum diizinkan untuk melihat kondisi keduanya. Ini
membuatku semakin panic. Kemudian malam itu menjadi malam hitam pekat ketika
dokter mengabarkan, bahwa latisha sudah tiada. Dan satu hari setelahnya, ayahku
menghadap yang kuasa.
Aku
menghadiri pemakaman keduanya. Tak bisa kugambarkan bagaimana perihnya itu.
Sampai aku tak tau lagi, mata sembam mana yang menangisi latisha dan ayahku.
Rasanya seperti dibelah, dihujam bertubi-tubi sampai sendi-sendiku lemah.
Kurasa ibuku pun begitu. Namun beliau cenderung lebih tabah. Mampu menasehatiku
sedang ia terluka.
Ibu,
aku membawanya pulang ke rumahku yang sekarang. Beberapa waktu setelah mereka
tiada. Beliau juga memintaku untuk melakukannya. Di rumah mungil itu, kami
saling mengobati satu sama lain. Mulai tergambar wajah rindang di wajah ibu dan
orang tua latisha. Kami membesarkan azkadina bersama-sama. Mata dan hidungnya
persis seperti latisha. Ia tumbuh dengan baik dalam perspektif anak tanpa ibu.
Menginjak usianya dua tahun, ia sudah bisa memanggilku “ayah”, aku mengajarinya, “mama”.
Poster
ka’bah itu yang membuatku menamakan latisha kecil, azkadina. “istriku, saat itu aku melihat wajahmu dan
orang tuaku, dalam zu’ doa panjang nan mendalam di detik-detik waktu, seusai
shalat.”. Aku tidak tau mengapa harus nama itu. Setiap kali melihat poster
itu, aku selalu mengenang mimpinya untuk ke sana. Bahkan saat sepintas aku
berlalu melihatnya. Dengan segera, ingin segera kubawa anak manis ini bersamaku,
juga bersama latisha yang terus bersemayam di dalam hati. Mimpi-mimpinya seakan
masih hidup, terus mendorongku untuk mewujudkannya.
Suatu
hari, aku berniat memindahkan poster itu ke kamarku, agar azka bisa melihatnya
terus sebelum ia tertidur. Pelan-pelan, kulepaskan lakban yang telah menempel
lama di poster itu. Setelah poster itu terlepas sempurna. Senyumanku yang
sedari tadi pagi direnggut. Terpaku di depan dinding dengan pandangan yang
dihalangi air, tak jemu kuhapus berkali-kali.
Aku
melihat sebuah gambar yang lebih tua tertempel di balik poster ka’bah itu.
Lukisan menara eiffel goresan tangannya. ada tulisan mungil di sudut lukisan
itu “zafran, bawa aku ke sana!”,
ketika aku membacanya, latisha dengan rambut cocang lipan, memandangku dan
mengucapkan kalimat itu.
Memori
yang tertancap dalam waktu itu, timbul dan menyeruak. Menguasai seluruh partisi
otak. Aku meninggalkan toko ku yang masih terbuka. Menuju bank dan menarik
seluruh tabungan yang telah latisha kumpulkan. Seperempat dari uang itu kubawa
pulang ke rumah dan sisanya ku tabungkan ke bank yang berlabel internasional.
Dua hari sebelum aku dan azkadina berangkat, telah kutitip toko ku itu kepada
sepupu latisha, shamir. Berpamitan kepada orangtua kami, nenek dan kakek azka,
mereka menangis. Sedang ibuku mengatakan, “ibu
sudah meridhaimu nak”.
Aku
melihat anak perempuanku kegirangan. Padahal ia tidak tau apa-apa. Sebuah
travel umrah membimbing setiap langkah perjalanan panjang kami. Ke Makkah Al-Munawwarah, tanah yang
dirindui. Hingga kami tiba di sana. Melaksanakan ibadah tersebut dengan membawa
air mata dalam setiap langkah. Tiba sudah arah wajahku, ke hadapan ka’bah, aku
melihatnya . . . “istriku, saat itu aku melihat wajahmu dan orang tua kita, dalam zu’
doa panjang nan mendalam, di detik-detik waktu, seusai shalat.”.
Esok
adalah hari kepulangan kami ke tanah air. Lalu aku bertanya kepada azkadina,
usianya masih 2 tahun delapan bulan.
“haruskah ayah membawa ibumu kesana?”. Azka hanya tertawa polos, “nak, malam ini kita ke sana”. Setelah
shalat isya, aku mengepak ransel dan membawa azka ke luar hotel. Menaiki banyak
taksi dan menghindar dari intaian travel yang bertanggung jawab atas kehilangan
kami. Tampaknya kami sudah di luar kota. Aku turun dan mencoba menjalin
komunikasi dengan beberapa pengemudi bis. Untuk mengantar kami ke bandara, dan
terbang ke Paris.
^^^
Di
Paris sedang musim gugur sekarang, hawa dingin mulai terasa. Aku menggendong
azka, di belakang punggungku. Menempuh perjalanan untuk menemukan menara megah
ini. Semalaman aku di sini, tidak tahu harus menginap di mana. Untuk menyewa
hotel di kota ini rupanya sangat mahal. Bila pun harus, uang kami tidak akan
cukup untuk bertahan di sini dan pulang.
Malam
ini aku di bawah menara ini, latisha. Bersama anak kita, azkadina. Seandainya
saja engkau menjadi nyata, pasti aku
akan memelukmu dengan erat. Beginilah cerita ini ku akhiri. Mereka sudah panic
memandangiku, lampu mobil ambulan sudah tampak dari jauh.
“istriku,
saat iini aku sedang melihat wajahmu, orang tua kita dan juga azkadina, dalam
zu’ doa panjang nan mendalam, di detik-detik waktu nafasku yang mulai
terpenggal,.”.
Azka,
telanlah airmatamu nanti, ,
^^^
Inilah
cerita yang ditulis ayahku, sebelum ia pergi meninggalkanku bersama ibu. Bibi
aisyah bilang, ayahku meninggal karena luka tusuk di perutnya. Kasus itu
terjadi saat kami berada di gang gelap bangunan tinggi. Kami dirampok waktu
itu, dan pelakunya telah ditangkap. Tulisan ayahku ini pernah ditempel di pilar
baja sebelah ini. Dan aku akan menulis kisahku di sini pula.
Bibi aisyah, ia ibu angkatku sekarang. Sebelumnya
aku sempat sulit menerjemahkan tulisan ayah ke dalam bahasa prancis. Tapi, kini
aku telah mengerti setelah tinggal beberapa bulan di jogjakarta. Aku bahkan
tidak tau dari mana orang tuaku berasal. Jika bisa, aku ingin menjumpai nenek
dan kakek, ayah dan ibu dari orang tuaku.
Dulu
aku tidak mengerti mengapa ayah menyuruhku untuk menelan airmata. Dan sekarang,
makna itu bisa kutangkap dengan jelas. Terima kasih ayah dan ibu, betapa engkau
menyayangiku. Semoga Allah mempertemukan kita di syurga kelak.
azkadina
latisha binti zafran
oleh : MR. OB
0 komentar:
Posting Komentar