Aku, Zafran. 34 tahun. Menulis kisah ini di ambang kerinduan yang mendalam. Di antara apitan 4 pilar baja. Bersama anakku, azkadina, yang sedang tertidur pulas di pangkuanku. Di akhir perjalanan panjang ini, aku tetap bersama engkau, wahai penenang mata yang meneduhkan.
Latisha,
dia adalah mantan pacarku yang terakhir Setelah kubawa ia ke panggung
pelaminan. Ia juga satu-satunya sahabat yang tak pernah meretakkan dirinya dari
keputusasaan. Teringat waktu itu, saat kami masih berseragam merah putih.
Tubuhnya begitu mungil. Bicaranya banyak dengan mimik yang tak pernah sedih.
Gigi serinya tanggal dan rambutnya yang selalu di cocang limpan.
Di
masa masa itu, aku tak pernah melihatnya menangis. Itu hal yang langka baginya.
Tapi, di hari itu. aku melihatnya bersandar di pagar belakang sekolah kami.
tangisnya begitu pilu. Ingin ku dekati, tapi aku ragu. Tak ada yang bisa ku
buat, kecuali hanya melihatnya dari atas pagar. Tapi, tak lama setelah itu, ia
berjumpa dan tertawa kembali dengan teman-temannya.
Begitulah
ia, manusia tidak dapat ditebak. Pergi dengan tangis dan pulang dengan senyum.
Entah bagaimana ceritanya, aku mendekatinya. Dan tak lama setelah itu aku
selalu didekati. Aku sempat duduk di lapangan sekolah waktu itu, memandangnya
dari sela-sela keramaian siswa. Ia bermain riang. Lalu, tawanya menjadi berbeda
saat bersamaku. Suaranya menjadi lembut, meskipun sesekali mengakak.
Menakjubkan,
ia pernah melukis sebuah konstruk bangunan di pagar rumah tua. Waktu itu aku
tidak mengetahui apa nama bangunan itu. Waktu menyingsing mengembangkan
pengetahuanku. Otakku mencoba membandingkan beberapa gambar visual yang pernah
ditangkap oleh mata dengan lukisan raksasanya. Eiffel, aku menangkapnya. Perlu
banyak perbandingan. Gambarnya hampir tidak sama.
Beberapa
saat kami bersama. Aku mencoba memahaminya karena ia begitu berbeda. Lantas apa
yang disukainya, aku juga suka. Banyak sudah pengalaman-pengalaman rumit
dengannya. Paku berkarat yang tertancap di kakinya, celanaku yang sobek karena
jatuh dari tangga. Lalu rambut alien dengan kombinasi merah, hijau, biru di beberapa
sisi kepala. Aku mendengarkan beberapa nada tinggi dari ibu dan waktu lama di
bak mandi. Entah bagaimana dengannya.
Dasar
manusia rumit, aku mencacinya ketika aku berbaring sedang ada luka gores di
punggungku. Bekas goresan paku. Saat kami mencoret pagar rumah pak roji. Aku
membantunya kabur lewat pagar, sedang aku dipukuli minta ampun, sampai berlari
menerobos pagar kawat duri karena tidak tahan tinjunya. Aku berlari kencang, melihat
pak roji yang tidak mengejarku lagi, juga melihatnya. Bersembunyi di atas
pohon, melihatku saat dan pasca dihajar.
Sudah
sengsara, kembali aku di tipu olehnya, katanya, ia pernah mendengar bahwa inai
bisa menyembuhkan luka gores dengan segera. Aku ingin luka itu sembuh dengan
segera agar ibu tidak tahu. Ia mematahkan beberapa ranting inai, dan membawanya
ke markas. Basekamp kami. Ia menggiling inai itu dan membubuhinya di luka
goresku. Panjang. Aku jadi lesu. Rasanya dingin, dan kemudian aku tertidur.
Inainya mengering. Aku memakai baju dan segera beranjak ke rumah. Jebakan, ia
menggambar eiffel lagi, tapi kali ini di punggungku. Dasar manusia rumit, aku
kembali lagi mencacinya.
Dan
setelah belasan tahun di suasana rumit itu, aku mulai mengetuk kepalaku sambil
mengatakan, apakah nama rasa ini, wahai rambut, wahai kutu, wahai dahi, wahai
telinga? Aku tidak mengerti. Rona-rona muncul kala mataku tidak menangkap
gambarnya lagi. Ia telah pindah ke luar kota, meninggalkanku, basekamp kami,
dan juga beberapa lukisan imajinatif.
Terkadang,
saat perasaan kehilanganku memuncak, aku kembali ke basekamp, mencoba mengenang
kembali kejadian-kejadian dulu, mulai dari pintu depan, beranjak ke
dinding-dinding penuh warna, tumpukan kayu penuh paku, tangga rusak, ayunan
jaring dan tempat tamsilan puncak menara eiffle, ada teropong yang terbuat dari
botol air mineral. Aku menaikinya, dan berkata bodoh sambil tertawa.
Lalu
aku melewati pintu belakang, rumah pak roji yang telah almarhum. Juga pohon
tinggi itu, tempat ia menatapku bisu, pula ketika aku lolos dari kejaran pak
roji. Begitu aku merasakannya, ia imajinatif, tapi aku malah mencaci, menyesal.
^^^
Gelombang,
aku di tepi laut melihat beberapa bentuk awan. Merindukannya?, sudah tentu.
Pikiranku bercanda untuk memutar sudut pandang, berusaha mencari bentuk yang
sesuai dengan konstruk bangunan itu. Beberapa saat dapat ku pandangi. Kemudian
berubah karena angin. 29 ramadhan, menjelang senja.
^^^
Empat
tahun setengah setelah menamatkan SMA, aku menjadi sarjana teknik yang tak bisa
membaca peluang. Hanya duduk , mengatasi komplikasi pubertas. Sampai paradigmaku
berubah saat ayahku jatuh sakit. Itu membuatku kalang kabut. Berputar-putar
lalu duduk kembali, mengatasi komplikasi ekonomi.
Merasa
tak berbakat. Aku lantas berniat untuk menghamba. Beberapa hari yang lalu,
sainganku di kampus menanyakan tentang pekerjaanku pasca mereguh ijazah.
Jawabanku nafi. Sebutnya, “selalu ada
lowongan kerja di lembar surat kabar”. Itu membuatku meradang. Tanpa
kutanya pun, ia telah membeberkan jenis pekerjaan dan berapa besar gajinya.
Gerahamku saling menabrak dengan mata terbelalak, lalu ku maki ia mati-matian.
Tawa membahak, cuma itu respon yang kudengar sebelum ia mematikan handphonenya.
Seperti
saran hinaannya, aku mencari lowongan kerja di berbagai merk surat kabar. Aku
ingin yang berkelas, namun semua lowongan kerja yang kutemukan ternyata dibawah
kelas. Persyaratannya sekelas ijazah SMA. Aku jadi tidak bergairah. Setelah
itu, aku kembali masuk rumah, dan melihat wajah ayah dan ibu. Ada perasaan
tidak tega. Lantas ku kepak barang-baran yang kuperlukan untuk perjalanan jauh.
Ibu melihatku bingung ketika itu. Aku bersimpuh dan mencium lututnya, juga
ayah. Meminta izin untuk berangkat, sebelum ada beberapa pertanyaan dari mereka.
Aku
bertemu paman, untuk meminta sedikit bekal. Bertahan hidup di tanah yang asing
bagi mata kakiku. Menaiki bus, berjalan, dan melihat rintik-rintik hujan yang
menghujam kaca. Seperti dihipnotis, aku tertidur pulas, sebelum sampai di
sebuah rumah makan untuk berehat sejenak.
“Istriku, saat itu aku melihat wajahmu dan
orang tuaku, dalam zu’ doa mendalam nan panjang, di detik-detik waktu seusai
shalat.” banyak air mata yang tumpah. aku terisak sejuta kali. wajahku
sudah basah dan kuhapus lagi. beberapa waktu setelahnya, aku terjaga kembali.
Bus
kuning dengan corak merah, telah hilang. Aku berjalan dan berhenti di bekas
bannya yang tergambar di tanah. Berdiri lama., melihat sayup-sayup malam dengan
pandangan kosong. Antara tak percaya dengan mengikhlaskan barang-barangku yang
dibawa pergi.
Keesokan
paginya, seseorang membangunkanku karena subuh telah berlalu. Aku bangun dan
duduk sejenak. Merasakan hawa kulit yang masih dingin dibalut udara malam. Aku
mencoba berdiri dan menyeimbangkan diri, lalu beranjak mengganti shalatku yang
sudah tinggal. Aku duduk lama di tangga masjid, padahal matahari sudah
memuncak. Dan ketika itu, ,
Aku
melihatnya, seolah atau benar-benar ia. Mungkin dia pun demikian. Seolah aku
atau benar-benar aku. Aku memperlihatkan tanda lahir di tanganku yang sedari
dulu dicemoohnya. Keningnya mengerut, lalu ia melepas sandal. Memperlihatkan
telapak kakinya kepadaku. Aku langsung bangun. Mungkin ia ingin menunjukkan
luka bekas paku di telapak kakinya, meskipun aku tidak bisa melihatnya. Aku
menghampiri. Ia memanggil namaku, “zafran?!”.
Kali
ini aku benar-benar ikhlas kehilangan barang-barangku. Semuanya telah terganti
karena telah melihatnya kembali. Ia masih begitu mirip dengan latisha dulu.
Tidak seperti aku, katanya. Aku menceritakan kemalangan ini kepadanya, lalu mendengarkan
tawa kanak-kanaknya dulu.
^^^ Bersambung
oleh : Mr. OB
0 komentar:
Posting Komentar