Forum Menulis Mahasiswa Institut

Senin, 23 Maret 2015

Menelan Air Mata


Aku, Zafran. 34 tahun. Menulis kisah ini di ambang kerinduan yang mendalam. Di antara apitan 4 pilar baja. Bersama anakku, azkadina, yang sedang tertidur pulas di pangkuanku. Di akhir perjalanan panjang ini, aku tetap bersama engkau, wahai penenang mata yang meneduhkan.

                Latisha, dia adalah mantan pacarku yang terakhir Setelah kubawa ia ke panggung pelaminan. Ia juga satu-satunya sahabat yang tak pernah meretakkan dirinya dari keputusasaan. Teringat waktu itu, saat kami masih berseragam merah putih. Tubuhnya begitu mungil. Bicaranya banyak dengan mimik yang tak pernah sedih. Gigi serinya tanggal dan rambutnya yang selalu di cocang limpan.

                Di masa masa itu, aku tak pernah melihatnya menangis. Itu hal yang langka baginya. Tapi, di hari itu. aku melihatnya bersandar di pagar belakang sekolah kami. tangisnya begitu pilu. Ingin ku dekati, tapi aku ragu. Tak ada yang bisa ku buat, kecuali hanya melihatnya dari atas pagar. Tapi, tak lama setelah itu, ia berjumpa dan tertawa kembali dengan teman-temannya.

                Begitulah ia, manusia tidak dapat ditebak. Pergi dengan tangis dan pulang dengan senyum. Entah bagaimana ceritanya, aku mendekatinya. Dan tak lama setelah itu aku selalu didekati. Aku sempat duduk di lapangan sekolah waktu itu, memandangnya dari sela-sela keramaian siswa. Ia bermain riang. Lalu, tawanya menjadi berbeda saat bersamaku. Suaranya menjadi lembut, meskipun sesekali mengakak.

                Menakjubkan, ia pernah melukis sebuah konstruk bangunan di pagar rumah tua. Waktu itu aku tidak mengetahui apa nama bangunan itu. Waktu menyingsing mengembangkan pengetahuanku. Otakku mencoba membandingkan beberapa gambar visual yang pernah ditangkap oleh mata dengan lukisan raksasanya. Eiffel, aku menangkapnya. Perlu banyak perbandingan. Gambarnya hampir tidak sama.

                Beberapa saat kami bersama. Aku mencoba memahaminya karena ia begitu berbeda. Lantas apa yang disukainya, aku juga suka. Banyak sudah pengalaman-pengalaman rumit dengannya. Paku berkarat yang tertancap di kakinya, celanaku yang sobek karena jatuh dari tangga. Lalu rambut alien dengan kombinasi merah, hijau, biru di beberapa sisi kepala. Aku mendengarkan beberapa nada tinggi dari ibu dan waktu lama di bak mandi. Entah bagaimana dengannya.

                Dasar manusia rumit, aku mencacinya ketika aku berbaring sedang ada luka gores di punggungku. Bekas goresan paku. Saat kami mencoret pagar rumah pak roji. Aku membantunya kabur lewat pagar, sedang aku dipukuli minta ampun, sampai berlari menerobos pagar kawat duri karena tidak tahan tinjunya. Aku berlari kencang, melihat pak roji yang tidak mengejarku lagi, juga melihatnya. Bersembunyi di atas pohon, melihatku saat dan pasca dihajar.

                Sudah sengsara, kembali aku di tipu olehnya, katanya, ia pernah mendengar bahwa inai bisa menyembuhkan luka gores dengan segera. Aku ingin luka itu sembuh dengan segera agar ibu tidak tahu. Ia mematahkan beberapa ranting inai, dan membawanya ke markas. Basekamp kami. Ia menggiling inai itu dan membubuhinya di luka goresku. Panjang. Aku jadi lesu. Rasanya dingin, dan kemudian aku tertidur. Inainya mengering. Aku memakai baju dan segera beranjak ke rumah. Jebakan, ia menggambar eiffel lagi, tapi kali ini di punggungku. Dasar manusia rumit, aku kembali lagi mencacinya.

                Dan setelah belasan tahun di suasana rumit itu, aku mulai mengetuk kepalaku sambil mengatakan, apakah nama rasa ini, wahai rambut, wahai kutu, wahai dahi, wahai telinga? Aku tidak mengerti. Rona-rona muncul kala mataku tidak menangkap gambarnya lagi. Ia telah pindah ke luar kota, meninggalkanku, basekamp kami, dan juga beberapa lukisan imajinatif.

                Terkadang, saat perasaan kehilanganku memuncak, aku kembali ke basekamp, mencoba mengenang kembali kejadian-kejadian dulu, mulai dari pintu depan, beranjak ke dinding-dinding penuh warna, tumpukan kayu penuh paku, tangga rusak, ayunan jaring dan tempat tamsilan puncak menara eiffle, ada teropong yang terbuat dari botol air mineral. Aku menaikinya, dan berkata bodoh sambil tertawa.

                Lalu aku melewati pintu belakang, rumah pak roji yang telah almarhum. Juga pohon tinggi itu, tempat ia menatapku bisu, pula ketika aku lolos dari kejaran pak roji. Begitu aku merasakannya, ia imajinatif, tapi aku malah mencaci, menyesal.

^^^
                Gelombang, aku di tepi laut melihat beberapa bentuk awan. Merindukannya?, sudah tentu. Pikiranku bercanda untuk memutar sudut pandang, berusaha mencari bentuk yang sesuai dengan konstruk bangunan itu. Beberapa saat dapat ku pandangi. Kemudian berubah karena angin. 29 ramadhan, menjelang senja.
^^^

                Empat tahun setengah setelah menamatkan SMA, aku menjadi sarjana teknik yang tak bisa membaca peluang. Hanya duduk , mengatasi komplikasi pubertas. Sampai paradigmaku berubah saat ayahku jatuh sakit. Itu membuatku kalang kabut. Berputar-putar lalu duduk kembali, mengatasi komplikasi ekonomi.

                Merasa tak berbakat. Aku lantas berniat untuk menghamba. Beberapa hari yang lalu, sainganku di kampus menanyakan tentang pekerjaanku pasca mereguh ijazah. Jawabanku nafi. Sebutnya, “selalu ada lowongan kerja di lembar surat kabar”. Itu membuatku meradang. Tanpa kutanya pun, ia telah membeberkan jenis pekerjaan dan berapa besar gajinya. Gerahamku saling menabrak dengan mata terbelalak, lalu ku maki ia mati-matian. Tawa membahak, cuma itu respon yang kudengar sebelum ia mematikan handphonenya.

                Seperti saran hinaannya, aku mencari lowongan kerja di berbagai merk surat kabar. Aku ingin yang berkelas, namun semua lowongan kerja yang kutemukan ternyata dibawah kelas. Persyaratannya sekelas ijazah SMA. Aku jadi tidak bergairah. Setelah itu, aku kembali masuk rumah, dan melihat wajah ayah dan ibu. Ada perasaan tidak tega. Lantas ku kepak barang-baran yang kuperlukan untuk perjalanan jauh. Ibu melihatku bingung ketika itu. Aku bersimpuh dan mencium lututnya, juga ayah. Meminta izin untuk berangkat, sebelum ada beberapa pertanyaan dari mereka.

                Aku bertemu paman, untuk meminta sedikit bekal. Bertahan hidup di tanah yang asing bagi mata kakiku. Menaiki bus, berjalan, dan melihat rintik-rintik hujan yang menghujam kaca. Seperti dihipnotis, aku tertidur pulas, sebelum sampai di sebuah rumah makan untuk berehat sejenak.

                “Istriku, saat itu aku melihat wajahmu dan orang tuaku, dalam zu’ doa mendalam nan panjang, di detik-detik waktu seusai shalat.” banyak air mata yang tumpah. aku terisak sejuta kali. wajahku sudah basah dan kuhapus lagi. beberapa waktu setelahnya, aku terjaga kembali.

                Bus kuning dengan corak merah, telah hilang. Aku berjalan dan berhenti di bekas bannya yang tergambar di tanah. Berdiri lama., melihat sayup-sayup malam dengan pandangan kosong. Antara tak percaya dengan mengikhlaskan barang-barangku yang dibawa pergi.

                Keesokan paginya, seseorang membangunkanku karena subuh telah berlalu. Aku bangun dan duduk sejenak. Merasakan hawa kulit yang masih dingin dibalut udara malam. Aku mencoba berdiri dan menyeimbangkan diri, lalu beranjak mengganti shalatku yang sudah tinggal. Aku duduk lama di tangga masjid, padahal matahari sudah memuncak. Dan ketika itu, ,

                Aku melihatnya, seolah atau benar-benar ia. Mungkin dia pun demikian. Seolah aku atau benar-benar aku. Aku memperlihatkan tanda lahir di tanganku yang sedari dulu dicemoohnya. Keningnya mengerut, lalu ia melepas sandal. Memperlihatkan telapak kakinya kepadaku. Aku langsung bangun. Mungkin ia ingin menunjukkan luka bekas paku di telapak kakinya, meskipun aku tidak bisa melihatnya. Aku menghampiri. Ia memanggil namaku, “zafran?!”.

                Kali ini aku benar-benar ikhlas kehilangan barang-barangku. Semuanya telah terganti karena telah melihatnya kembali. Ia masih begitu mirip dengan latisha dulu. Tidak seperti aku, katanya. Aku menceritakan kemalangan ini kepadanya, lalu mendengarkan tawa kanak-kanaknya dulu.

^^^ Bersambung

oleh : Mr. OB

0 komentar:

Posting Komentar