Hujanku Kembali
Oleh : Ira Maulida
Oleh : Ira Maulida
“Ra,.yok
main” ajak zaki, sahabat kecilku sedikit berteriak. Sahabat yang baik, yang tak
pernah lupa mengajakku main ketika hujan mulai turun membasahi bumi yang
kering. Aku suka hidungnya yang mancung dan lesung pipinya yang dalam. Ia
berdiri di bawah guyuran
hujan yang cukup deras dengan membawa 2 perahu yang ia buat dari pelepah
pisang. Ku singkap gorden jendela ruang tamu, ia melambaikan tangan
kearahku, memperlihatkan perahu yang telah ia buat serta menyuruhku untuk
segera keluar menemuinya. Segera aku
berlari kecil keluar rumah. Ia tersenyum melihat kedatanganku, lesung pipinya
terlihat jelas.
“Selamat ulang
tahun.” ucapnya
sambil memberikanku perahu kecil buatannya. Kado pertama yang ia berikan untukku.
“Hehehe,.makasih”jawabku senang.
Lalu kami
bermain, bercanda, tertawa dan menari bersama dibawah rintikan hujan yang
deras.
Aku dan Zaki
punya hobi yang sama, kami sama-sama suka bermain hujan. Saat itu, usiaku 12 tahun. meski
usianya terpaut 2 tahun lebih tua dariku,.tapi, ia tetap setia menemaniku bermain bersama. Setiap kami lihat langit mulai mendung, kami
selalu punya doa yang sama
“ ya Allah,
semoga hujan tapi jangan ada petir biar kami bisa main,.Aamiin.”
hobi itu masih terus berlanjut sampai aku duduk
di bangku SMP.
Saat beranjak
SMA, ada sesuatu yang berbeda. Kami tak lagi bermain di bawah guyuran hujan.
Tak ada lagi perahu dari pelepah pisang. Ia sibuk dengan segala tugas dan
kegiatan organisasinya. Hanya sesekali ketika hari libur kami duduk bersama di
bawah pohon rindang dekat rumahnya. Disana biasanya kami menghabiskan waktu
bersama dengan bermain puzzel. Tapi ada satu hal yang tak ku mengerti, aku
selalu kesal saat ia bercerita tentang teman yang sedang dekat dengannya,
seakan tak rela jika perhatiannya dibagi kepada orang lain.
__o__
“Langit mulai
mendung, semoga sebentar lagi hujan.” aku
berharap.
Ku berniat
memanggil Zaki tuk menemaniku. Tapi, kuurungkan
niatku karna mungkin ia sedang sibuk dengan tugasnya. Tak lama terdengar
seseorang membuka pintu. Langkah kakinya makin lama makin terdengar jelas. Dan
kini ia berdiri tepat didepanku, lalu tersenyum. senyuman
yang tak pernah lupa ia berikan setiap kali berjumpa denganku. Tangannya
menyembunyikan sesuatu.
“Ini buat sahabatku zara,.” Katanya sambil
memberiku gelang berwarna hijau. Ada
namanya terukir indah disana.
“Yang warna biru mana.” tanyaku.
Tapi ia tak
menjawab, ia terdiam menatapku lama sambil tersenyum.
“hallo,.”panggilku
sambil melambaikan tangan di depan wajahnya, membuatnya terbangun dari lamunan,
tertawa kecil kemudian menggaruk-garuk kepala.
“hehe,.aneh”bisikku
dalam hati.
Lalu ia
memperlihatkan gelang yang melingkar ditangan kirinya, warnanya biru dan ada
namaku disana, tapi ada tulisan lain setelahnya dan aku tak dapat membaca
dengan jelas karna ukirannya terlalu kecil.
Gerimis mulai
turun. Dedaunan pun mulai basah. Anak-anak
berlari riang, sama seperti aku dan Zaki dulu. Kami tersenyum dan
tertawa memerhatikan mereka. Saat itu, semuanya baik-baik saja. Tapi tak lama, Zaki tak lagi
tersenyum wajahnya mulai murung, setelah
ia bilang bahwa mereka sekeluarga akan pindah karna tugas ayahnya. Dan dia
belum tau akan pindah kemana dan akan berapa lama. Sejenak ia terdiam.
“Ra, mungkin
nanti hujan akan terasa berbeda karna kita mungkin akan berpisah untuk beberapa waktu yang aku sendiri belum tau sampai kapan,
mudah-mudahan gak lama.,. Emm,.aku pasti bakalan rindu banget sama
sahabatku,.tapi entah sahabatku juga akan rindu
sama aku ?.” ucapnya sambil tertawa mencoba menyembunyikan
kesedihannya.
Aku ikut tertawa,
namun kulihat guratan sedih di wajahnya. matanya berkaca-kaca dan mungkin ia pun melihat hal yang
sama.
__O__
2 tahun berlalu,.
Aku masih senang
menghabiskan waktu soreku dibawah pohon rindang itu. Walau ia tak ada di sana. Dalam kesendirianku, kupandangi
langit yang berwarna keemasan bias cahaya matahari, awan tampak menggumpal bak
busa sabun. Perlahan ia berubah menjadi warna merah muda bercampur abu-abu. Di
ufuk barat masih tampak sedikit cahaya matahari mengucapkan selamat tinggal
disambut gelapnya langit malam.
Subhanallah,.indah.” bisikku dalam hati.
Namun, tak seindah suasana hatiku saat ini. Aku masih
merindukannya, sahabatku atau bahkan lebih dari itu. Sampai saat ini tak ada
kabar darinya, bahkan aku pun tak tau dimana keberadaannya sekarang. Tak sadar
butiran bening yang hangat kembali mengalir membasahi pipiku. Kupandangi gelang
cantik pemberiannya “gelang persahabatan”
katanya. Gelang yang tak pernah kulepas sejak pertama ia memberikannya
kepadaku. Mungkin hanya ini yang bisa mengobati sedikit kerinduanku kepadanya.
“Ya Allah
dimanapun ia berada, tolong jaga dia untukku.”, aku memohon.
__O__
4 tahun setelah itu . . .
Pagi pertama
dibulan september. Saat-saat yang tak pernah kulupakan. Ketika aku menangisi kepergiannya di awal bulan ini, 4 tahun yang lalu. Hari tak begitu cerah. Mentari pagi
tak sehangat biasanya, sama ketika ia pergi waktu itu.
Sinar matahari yang menyilaukan mata tak tampak hari ini, hanya secercah cahaya
yang terlihat di ufuk timur.
Rumah itu masih
kosong setelah sekian lama ditinggal pemiliknya, belum ada yang menempatinya
tuk dijadikan tempat berlindung. Kupandangi pohon rindang itu, daunnya yang
kering berguguran, beterbangan memenuhi halaman luas yang tak terawat. Dulu
pohonnya tak setinggi itu. aku masih bisa
meraih daunnya dengan tangan mungilku.
Sekilas
bayangan masa lalu menari-nari dipelupuk
mataku. Di halaman nan luas
itu ketika air hujan mulai menggenanginya. kami para
bocah bersorak riang, bermain, tertawa, bernyanyi dan menari bersama. Musim
hujan adalah musim yang spesial bagi kami.
“ Hujan memang terasa berbeda tanpamu,..heemmm,..” ku menghela nafas.
Besok lebaran
ke-4 tanpanya. dan aku sudah
mulai terbiasa.
__O__
Malam yang indah.
Suara takbir menggema dimana-mana mengagungkan Asma-Nya.
Suara muazzin di mesjid kami begitu merdu, tapi terdengar
asing. Mungkin ustad yang diundang untuk menyemarakkan malam takbiran. Ia
mengumandangkan takbir berkali-kali diikuti suara anak-anak lelaki yang ikut
bertakbir bersamanya.
“Allahu
akbar,,Allahu akbar,,Allahu akbar,,laailahaillaallahu Allahu akbar,,Allahu
akbar walillahilhamd.” alunan yang
begitu indah, menggetarkan setiap hati yang mendengarnya.
Para bocah mulai
keluar dari rumah mereka bersorak riang gembira ikut mengumandangkan takbir ala
mereka. Para bocah perempuan sibuk membakar lilin dan menjejerkannya dipagar
rumah. Aku tersenyum. Rumah yang tak berpenghuni
itu, malam ini tampak terang. diterangi cahaya lilin yang dijejerkan dipagarnya. Dulu
aku dan sahabatku pun melakukan hal yang sama.
“Di suatu tempat entah dimana, engkau juga pasti sedang
mengumandangkan takbir,.apa kabarmu sahabat,.aku rindu,.” lirihku memandangi gelang yang melingkar ditanganku.
“Ra,.sini nak !!”suara ayah mengejutkanku dari lamunan.
Segera aku bergegas
menemuinya. Di ruang tamu ayah dan mama telah menungguku. sepertinya ada hal penting yang ingin disampaikan.
Keduanya nampak serius. Ayah menatapku lama, aku kenal tatapan itu. Terakhir kali
aku melihatnya ketika ayah membicarakan
soal perjodohan. Namun, aku menolak karna masih kuliah. Dan kali ini masalah apa
lagi. kucoba menerka-nerka. Sesaat aku merasa seperti di ruang sidang skripsi yang baru kulewati
sebulan yang lalu. Namun, senyuman mama
membuatku merasa lebih nyaman.
“Da apa ma,.kok keknya serius kali” tanya ku membuka
pembicaraan.
Mama tak menjawab, ia menoleh kearah ayah
mengisyaratkan agar ayah menjelaskan semuanya. Dan ayah
menghela nafas panjang.
“Insyaallah ini
waktu yang tepat, mengingat kuliahmu juga akan selesai sebulan lagi.” Kata ayah dan sederet penjelasannya yang panjang lebar.
dan akhirnya
hanya ada 1 pertanyaan yang keluar dari tutur ayahku,
” Apa zara sudah
punya calon pendamping ?” tanya ayah.
“Deg.,. !!!” pertanyaan ayah sontak membuat jantungku seakan berhenti
berdetak. Ini untuk yang kedua
kalinya, pertanyaan yang tak kuharapkan. Pertanyaan yang tak ingin kudengar
untuk saat ini, karna aku masih menanti
seseorang. Seseorang yang kuharapkan walau sekarang aku tak tau dimana
keberadaannya.
“Aku harus jawab apa lagi” ku bertanya dalam hati.
Walau memang ada
beberapa teman yang sedang dekat denganku, tapi cintaku telah dibawa pergi
olehnya, yang telah pergi
beberapa tahun yang lalu.
Kucoba merangkai
kata, agar tak menyakiti hati orang tuaku. karna
dulu aku pernah menolak pilihan mereka. Kutarik nafas panjang.
”Belum yah,.tapi bukankah terlalu cepat yah memikirkan hal itu. kerjapun zara belum punya.” jawabku pelan.
Akhirnya ayah
tersenyum mendengar jawabanku, mama pun begitu.
Sepertinya mereka senang mendengarnya.
“Alhamdulillah
kalau begitu, kami sudah punya calon buat zara, yang insyaallah sholeh, baik
dan bisa membimbing zara dunia akhirat. Kami mohon zara bisa
mempertimbangkannya” jelas ayah.
“ Deg,!!!”. lagi, seakan
jantungku berhenti berdetak. Kupandangi kedua orang tuaku, mata mereka berbinar
dan senyuman keduanya mengisyaratkan agar aku menerima pilihan mereka.
Tak tau berapa
lama aku terdiam, bahkan aku tak tau harus senang atau bersedih. Aku tak ingin melukai perasaan mereka untuk yang kedua kalinya. Kucoba tuk tersenyum walau terasa
berat sekali.
“Sholat istikharah nak, dia akan datang ketika hari wisuda”
mama bicara setengah berbisik.
__O__
Pagi yang cerah.
Kicauan burung saling bersahutan. Suara takbir pun masih terdengar dimana-mana.
Suara ayah terdengar jelas mengikuti alunan takbir yang indah. Kutenangkan pikiran dan mencoba
memantapkan hati pada pilihan orangtuaku setelah kutunaikan sholat istikharah
semalam.
“Seharusnya ku
melakukan ini sejak dulu, berhenti berharap pada sesuatu yang tak jelas.,”
gumamku dalam hati.
Lalu kutemui ayah
dan kuutarakan keputusanku untuk menerima pilihan mereka. Ayah memelukku dan
berkali-kali mengucapkan syukur. Ayah
bilang kalau memang cocok beberapa minggu setelah wisuda akan dilangsungkan
acara pertunangan. Betapa bahagianya ia dengan segala rencana yang telah
disusun untuk putri semata wayangnya. Akumenangis
dalam pelukannya. Senang melihatnya bahagia walau ada sedikit luka dihati
kecilku.
__O__
Lebaran ke-2,..
Sinar matahari
amat terik siang ini. Melelehkan ice cream yang baru kubuka beberapa menit yang
lalu. Burung pun tak terlihat beterbangan. mungkin
mereka juga sedang beristirahat dibawah pepohonan yang rindang melindungi diri
dari sengatan matahari.
Diteras rumah
diatas kursi rotan kududuk santai menghabiskan ice cream yang mulai mencair.
Ditemani si jelek yang memutarkan lagu kesukaanku. Lalu..
Seseorang
berhenti didepan pagar rumahku. Aku terdiam. Tapi, ia tersenyum
melihatku. Kemudian ia masuk dan duduk disampingku. Aku masih terdiam. Jantungku berdegub kencang, tak tau apa
yang harus aku katakan. Lesung pipinya masih terlihat ketika ia tersenyum.
Rambutnya juga sudah dipangkas rapi. Ia
nampak tampan dengan baju koko berwarna coklat muda. Tapi matanya berkaca-kaca,
sama ketika ia ingin pergi dulu.
“Apa kabar ?” tanyanya.
Ku tersenyum, akhirnya ku dengar
kembali suaranya. Seseorang yang mulai kucoba untuk
lupakan. Namun, ia kembali hadir membawa sejuta kenangan. Tak banyak yang
berubah darinya. Semua masih sama seperti dulu. Ia masih tetap seorang yang
humoris. Hanya saja sekarang ia terlihat lebih dewasa.
Ia bercerita
panjang lebar siang itu. Namun, sayangnya ia tak
bisa menetap lama, 2 hari lagi ia harus kembali ke Malaysia. Ku memohon agar ia
bisa hadir ketika acara wisuda, tapi ia tidak janji karna masih banyak tugas
yang belum ia selesaikan.
“Tenang aja ra, kalau kita jodoh nanti pasti jumpa lagi. emm aku rindu sama kamu ra”ujarnya sambil
menatapku sembari tersenyum tulus lalu
menunduk.
Ku menatapnya. mataku mulai berkaca-kaca. Lalu kubuang pandanganku jauh
menerawang angkasa.
“Zaki,.”panggilku.
ia menoleh dan
tersenyum. kutarik nafas panjang dan kuceritakan
tentang perjodohan yang telah kusetujui. Tapi, tak berani kuungkapkan tentang perasaanku kepadanya. Tak
terasa, tetes hangat mengalir
membasahi pipiku tak dapat kutahan. Tuk pertama kali,
aku menangis didepannya. Ia terdiam
melihatku. Seandainya boleh, mungkin ia akan menghapus air mataku.
Kuterisak-isak didepannya.
“Jika saja kamu datang lebih awal,.” Satu kataku yang
membuatnya meminta maaf.
Jika memang ia
bisa, pasti akan dia lakukan tapi jarak menjadi penghalang baginya.
Berkali-kali ia meminta maaf untuk kesalahan
yang tak pernah ia lakukan. Aku hanya diam
dalam tangis. Bercerita dengannya sudah cukup melepaskan rinduku selama ini.
__O__
Langit berwarna
abu-abu pagi ini. Awan putih masih belum terlihat. Sang mentari juga masih
enggan tuk keluar setelah hujan deras semalam. Jam 7 pagi aku sudah berangkat
kekampus dengan mengenakan baju kebaya berwarna hijau bercampur putih. Hatiku
masih gelisah, bukan karena ini hari wisuda tapi karena seseorang yang
dijodohkan denganku akan datang hari ini. Hatiku cemas tak menentu. Dibawah
tenda yang sudah dihias sedemikian indahnya, aku duduk sejenak mencoba
menenangkan hati . Sms dari Zaki masuk,
“Zara, maaf aku gak bisa datang. Ku hanya bisa mengirimkan
doa untukmu, semoga pilihan orang tuamu adalah yang terbaik. Seandainya saja
aku datang lebih awal,,emm,,maafkan aku ra. Aku rindu kamu, Zara Zulisma.” kata-katanya membuatku menangis dihari yang
seharusnya aku bahagia.
Acara wisuda
berjalan lancar sesuai rencana. Semuanya terlihat bahagia. Ku melihat senyum
bahkan tawa disetiap wajah yang hadir hari itu.
Nada dering hp ku berbunyi tanda ada panggilan masuk,
ternyata dari mama. Beliau memintaku untuk segera menemuinya karna seseorang
itu telah menungguku. Jantungku keras berdetak.
“Ya Allah apa
yang harus aku lakukan, ya Allah ku mohon jika ia bukan untukku jauhkan dia” ku
berdoa dalam hati.
Langkah kakiku
terasa berat sekali. Jarak yang dekat seakan amat susah tuk ditempuh. Dan
akhirnya aku berdiri di samping mama. Tak
ada siapapun di sana. Aku bingung dan
sempat mengucap syukur karena mungkin ia tak jadi datang. Lalu,..
Dari kedai kecil
itu seseorang keluar membawa 2 aqua ditangannya. Ia mengenakan jas dan dasi,
sepatunya pun mengkilap. Gaya orang kantoran. Ia semakin mendekat. Lalu aku menoleh ke arah mama
memastikan bahwa itu orang yang dijodohkan denganku. Dan mama pun mengangguk.
Jantungku berdegub kencang, sama seperti ketika ia datang ke rumah beberapa hari lalu. Ia tersenyum
dan berdiri tepat didepanku. Aku tak dapat
menahan tangis.
“Kan aku udah bilang, kalau kita jodoh pasti bakalan jumpa
lagi.” ia tersenyum.
Ya Allah, rencana
Mu adalah yang terbaik. Ku tak bisa mengungkapkannya lewat kata-kata. Mungkin
air mataku dapat menjelaskan semuanya bahwa betapa bahagianya aku hari ini. Dan
satu kata yang ingin kukatakan padanya, “aku juga
rindu kamu, Zaki Alfiza”.
0 komentar:
Posting Komentar