Rona di Takdir Cinta
Oleh : Dian Maya Maulida
Untuk yang selalu kurindukan
Rindu
Di Tempat.
Ketika
surat ini telah sampai ditanganmu, mungkin aku sedang berada dalam perjalanan karena
hari ini aku akan pergi ke Surabaya untuk bekerja disanaa karena surat
lamaranku diterima beberapa minggu yang lalu. Aku ingin kamu menungguku karena
ketika aku telah mengumpulkan banyak uang, aku akan kembali dan segera
melamarmu. Doakan aku.
Yang selalu merindukanmu
Raizan Ramadhan
Aku selalu membaca surat ini dan menantikan dia segera
pulang. Tanpa terasa kepergiannya telah dua tahun dan aku masih tetap setia
menunggunya pulang. Meski telah banyak yang datang melamarku namun aku tetap
bertahan karena sebuah surat yang sudah lusuh dan selalu kubaca setiap hari.
Dia adalah cinta pertamaku dan aku berharap dia
bisa menjadi cinta terakhirku yang akhirnya menjadi imamku nanti. Aku
mengenalnya saat aku kehilangan sandalku dimesjid. Saat sedang sibuk mencari
sandal itu, dia datang bertanya
“maaf
ukhti sedang mencari apa ya? Kelihatannya engkau lagi kebingungan”.
Mendengar
pertanyaan itu, aku hanya bisa diam karena terlalu terpaku pada muka teduh itu.
Aku merasa semuanya seolah berhenti bergerak dan termasuk diriku juga. Kudengar
lagi suara itu mengulang pertanyaannya sekali lagi dan akupun sadar, kemudian
dengan tergagap aku menjawab bahwa aku kehilangan sandalku dan tidak mungkin
pulang dengan kaki telanjang. Kemudian kulihat dia tersenyum, dan sungguh
senyum itu sungguh indah hingga aku tak pernah sedikitpun bisa melupakannya.
Dia melepaskan sandalnya dan meletakkannya didepan kakiku.
“ukhti
pakailah sandal saya ini untuk pulang”
“
jangan akhi. Kalau akhi memberikan sandal ini untuk saya, bagaimana akhi pulang
nanti?” aku menolak pemberian itu, Namun dia terus memaksaku untuk memakainya
dan mengatakan bahwa tak baik seorang perempuan pulang dengan bertelanjang kaki
hingga akupun menerimanya sembari mengucapkan terima kasih. Lalu aku pamit dan
berjalan pulang kerumahku.
******
“Tok, tok, tok,
assalamu’alaikum” suara itu terdengar dari depan rumahku dan kemudian aku mendengar
suara ibu memanggilku.
“Rindu, keluar sebentar dan
lihat siapa yang datang, mungkin guru ngaji Adinda. Hari ini kan hari pertama
Adinda privat ngaji di rumah”.
“Baik bu” Jawabku sambil mengenakan jilbab dan berjalan
kepintu depan. Dan sesaat, aku termenung karena sosok teduh itu yang kini
sedang berdiri didepanku. Sosok yang begitu lama ada dalam pikiranku. Pemuda
itu kembali mengulang salamnya dan aku menjawabnya sekalian menyuruhnya masuk
dan duduk. Pemuda itupun berkata “ Saya guru ngajinya Adinda, Apa pengajiannya
bisa dimulai..?? Adinda ada?” .
Aku menjawab, “ada ustazd, dia
dikamar. Sebentar saya panggilkan”. Lalu aku berjalan memanggil adinda dan
menemui ibu didapur.
“Siapa tadi Rindu?” Tanya ibu padaku.
“ Ustadznya Adinda bu..”
Lalu kudengar Adinda sedang berbicara dengan ustadznya
dan aku mendengar ustadznya menyebutkan namanya “ Raizan Ramadhan”. Semenjak
hari itu, ustazd Raiz sering kerumah karena dalam seminggu tiga hari
mengajarkan Adinda mengaji.
*****
Pagi itu tepatnya hari sabtu, saat aku sedang bersantai
dalam kamar sambil membaca buku, tiba-tiba terdengar ucapan salam sembari
ketukan pintu. Aku kaget karena aku tau jelas pemilik suara itu, dengan harap-harap cemas
aku turun dari tempat tidur dan merapikan jilbab lalu keluar melihat siapa yang
datang. Dan saat aku membuka pintu, ternyata
benar yang datang adalah laki-laki pemilik wajah teduh yang selalu aku
rindukan.
“Ustadz ada perlu apa ya? Adinda kan ga privat
ngaji hari ini !!! Ustadz lupa atau ada perlu sama Adinda?”. Tanyaku
memberanikan diri bertanya.
“Bukan
lupa kok, maaf ya, kedatangan saya ingin mengajak dik Rindu keluar sebentar,
jalan-jalan sebentar di perkampungan ini, jalan kaki saja, ada yang ingin saya
bilang”
“Bo...bo..boleh
ustadz “.Jawabku agak sedikit gagap karena saking bahagianya. Aku seakan sedang
bermimpi dan berharap takkan pernah terbangun dalam mimpi. Oh tuhan, aku tak
tau bagaimana melukiskan bahagia ini. Kami berjalan menyusui perkampungan
setapak demi setapak tanpa berbicara sepatah katapun, Walau aku ingin namun
rasa bahagia ini telah membuat dadaku sesak. Akhirnya kami sampai disebuah telaga
yang begitu indah dan kami pun duduk disana, Kemudian disana dia baru
mengatakan sesuatu yang takkan pernah bisa aku lupakan.
“ Dik
Rindu, maaf mengajakmu keluar seperti ini, ada sesuatu yang ingin saya
sampaikan”.
“ ga
pa-pa akhi, tapi apa yang ingin akhi sampaikan?”
“ Dik
Rindu, saya ga tau apa yang sedang saya rasakan ini, saya hanya merasa
belakangan ini dik Rindu selalu hadir dalam pikiran saya dan dalam setiap
doa-doa saya. Dik Rindu jika memang ini cinta, saya ingin cinta ini datang
karena allah yang akan semakin mendekatkan saya kepada Allah. Dik Rindu saya
takut cinta ini malah menjauhkan saya dari Allah, jadi saya putuskan untuk
mengungkapkan perasaan ini dan ingin bertanya, bersediakah Dik Rindu menjadi
makmum saya?”
Aku
tercengang mendengar penuturan yang
sebenarnya membuat hatiku sangat bahagia. Aku pun masih terdiam.
“ Dik
Rindu.. ? kenapa diam..??”
“ Bersediakah
dik Rindu menjadi pendampingan saya..?? Meski saya tak cukup baik namun saya
akan berusaha menjadi imam yang baik dan mulai sekarang saya akan bekerja lebih
giat lagi agar mampu melamarmu dihadapan orangtuamu “. Tambahnya Lagi.
“Akhi.
Rindu mau jadi makmum untuk akhi. Rindu juga
cinta sama akhi. Rindu cinta akhi karena Allah”. Jawabku.
Setelah
pertemuan itu aku tak pernah bertemu lagi dengannya dan dia sendiri gak jadi
guru Adinda lagi karena katanya agar tak timbul hal yang tak diinginkan. Dan
terakhir aku hanya menerima selembar surat saat dia telah pergi jauh ke
Surabaya.
*****
“Rindu, keluar sebentar nak”.Panggil
ibuku yang membuyarkan lamunanku. Setiap aku membaca surat ini, aku selalu
mengingat tentang semuanya dan
semua itu memberiku harapan untuk terus
menunggunya disini meski aku telah menunggu 2 tahun lamanya.
“Baik bu” Jawabku sambil berjalan menuju ruang tamu.
Ternyata disana juga telah ada ayahku juga. Kemudian aku duduk disamping ayah.
“ Kenapa yah, ada masalah yang perlu diomongin?” Tanyaku
pada Ayah.
“Rindu, ayah tau kamu masih menunggu Raizan hingga kamu
menolak semua lamaran yang datang tapi kamu sudah nunggu 2tahun lamanya dan dia tak pernah ada kabarnya. Ayah rasa
sudah saatnya kamu melepaskan harapanmu dan mau menerima orang lain. Kamu
jangan hanya terpaku pada harapan-harapan kosong anakku”. Jawabnya.
“Tapi ayah, Rindu ga bisa” mukaku mulai keruh, aku sudah
sangat bosan mendengarnya karena belakangan ini ayah dan ibu sangat sering
membicarakan ini.
“ Lagian kan Rindu baru lulus tahun kemarin ayah, Rindu belum dapat kerjapun. Rugi ilmu dokter
yang sudah Rindu pelajari tapi ga jadi manfaat buat orang lain” lanjutku menyakini ayah.
“Mmm.... Iya nak Ayah Ngerti,, Cuma Ayah mau melihat kamu
menikah sebelum ayah meninggal Rindu, ayah sangat berharap sama kamu. Ayah mau
kamu menikah dengan orang yang baik”. Imbuhnya Lagi.
“Ta... ta..tapi yah..” Jawabku ingin membantah.
“Rindu cobalah buka hati kamu untuk orang lain, sekarang
ada yang melamar kamu, ayah sangat suka pada pemuda ini, ayah sangat berharap
kamu bisa bersamanya. Kamu mau kan Rindu..??? Hanya ini harapan ayah nak”.
Aku sudah menangis saat mendengar harapan ayah ini namun
aku tak mungkin bisa menolaknya tapi
bagaimana dengan harapanku yang telah kutunggu 2 tahun ini? Tapi mungkinkan aku
harus melepaskan harapaanku demi ayah. Kemudian akupun memutuskan untuk
menerima tawaran ayah.
“Iya ayah. Rindu bersedia. Semoga semua ini bisa jadi
yang terbaik dan mampu membahagiakan ayah yaaa. Rindu lakuin ini demi ayah.
Rindu sayang sama ayah”.
*****
Hari ini harusnya menjadi hari
yang membahagiakan karena hari ini adalah pertunanganku tapi rasanya aku masih
berharap bahwa Raizan yang jadi pendampingku. Aku tak tau apakah berdosa aku
karena saat aku sudah bertunangan seperti ini namun masih memikirkan laki-laki
lain. Sejujurnya, aku masih sangat mengharapkan. Dalam setiap mimpi-mimpiku dan
doa-doaku masih selalu kusebutkan namanya. Bayangannya tak pernah mampu kutepis
dalam benakku, namun saat kusadari jika kini aku telah bertunangan dengan orang
lain, aku hanya bisa berharap ini semua hanya sebatas mimpi dan aku ingin
segera terbangun dari mimpi ini tapi kenyataannya ini semua bukan mimpi.
Sekarang sudah lewat seminggu dari hari pertunanganku.
Ketika aku sedang membaca buku diruang tamu, tiba-tiba kudengar sebuah suara memberikan
salam dari luar. Aku mengenali suara itu tapi mungkinkah dia? Kukatakan pada
hatiku bahwa itu pasti bukan dia. Kulangkahkan kaki menuju pintu dan perlahan
kubuka pintu dan betapa kangetnya aku ketika kulihat yang datang adalah sosok
berwajah teduh yang selalu aku harapkan.
Ketika dia melihatku diam saja, kembali dia mengulang
salamnya.
“Assalamua’laikum ya ukhti Rindu”
“ Wa’alaikum salam ya akhi. Kapan kembali? Ayo
silahkanmasuk”. Jawabku.
“Ukhti Rindu, saya ingin berbicara, maukah Rindu ikut saya ketempat 2 tahun yang lalu..???”.
Pintanya
“Baiklah akhi, saya juga ada hal yang ingin saya
sampaikan kepada akhi”
Kami berjalan menuju telaga itu dan dalam perjalanan
kesana, masih seperti 2 tahun yang lalu, melalui jalan setapak ini dengan tanpa
mengucapkan sepatah katapun. Yang berbeda, kini aku tak bisa bahagia seperti
dulu, hatiku sangat kecewa karena dia baru datang sekarang bukan datang ketika
aku masih mengharapkannya dan belum bertunangan. Aku merasakan hatiku sangat
sesak tapi bukan oleh kebahagiaan seperti 2 tahun lalu tapi sesak karena kecewa
ini. Aku ingin menangis menyadari ini
semua.
Sesampainya kami ditelaga, kami duduk ditempat yang dulu
ketika kami datang 2 tahun lalu. Tak ada yang berubah dari telaga ini meski
telah beranjak 2 tahun. Kemudian Raiz pun memulai berbicara.
“ Rindu yang selalu kurindukan, maaf membuatmu terlalu
lama menunggu dan maaf juga untukmu karena saya tak pernah memberi kabar selama
ini. Saya bekerja selama 6 bulan disebuah perusahaan di Surabaya dan setelah
merasa gajinya cukup untuk modal usaha,
saya membuka usaha sendiri karena saya berpikir untuk segera sukses dan bisa
langsung melamarmu. Tapi ternyata, saya
salah, usaha saya gagal karena saya dibohongi oleh kawan yang saya
percaya. Dia membawa lari modal usaha saya. Saat itu saya berputus asa dan
hampir berpikir untuk menyerah namun
saya ingat Allah dan saya ingat kamu ukhti Rindu yang selalu saya rindukan.
Akhirnya saya bangkit lagi dan sekarang saya Alhamdulillah telah sukses. Saya
sekarang telah siap untuk melamarmu, masih bersedia dik Rindu menjadi makmum
saya? Tanya Raizan dengan penuh harap”.
Mendengar penuturannya itu aku sudah menangis, melihat
itu Raizan bingung dan gak tau harus lakuin apa. Dan dibalik isak tangis itu,
aku memberi jawaban untuk semua kebingungan Raizan mengapa aku menangis.
“ Sebetulnya aku ingin sekali menerimanya karena ini
harusnya menjadi akhir untuk penantian panjang saya selama ini. Tapi saya tidak
bisa akhi. Saya tidak bisa menerima akhi sekarang” Tangisku makin pecah
“ Tapi kenapa dik Rindu ??”.Muka Raizan berusaha sedih
sekaligus penasaran.
Kemudian aku menceritakan semuanya dari semua penantianku
dan akhirnya pertunangan dan 2 minggu lagi pesta pernikahanku dengan Akhi
Ziddan. Aku kemudian menyerahkan undangan pestaku kepadanya. “Ini undanganku,
aku harap akhi bisa datang yaa”.
Raizan tak menjawab sepatah katapun dan didalamnya sepi
ini aku memilih pergi dan meninggalkannya sendiri.
Aku melangkah pulang menapaki setapak demi setapak jalan
ini. Pulang dengan takdir yang tak memihak cintaku. Aku ingin berteriak
mengatakan pada tuhan bahwa aku terluka untuk takdir ini namun aku percaya
bahwa tuhan terlalu menyayangiku hingga menuliskan takdir tak seperti yang aku
harapkan. Aku percaya tuhan meridhai setiap langkah ini karena dalam hidup yang
kuharapkan adalah kebahagian orangtuaku dan keridhaan tuhan dalam naungan
setiap tapak jalan ini. Bantu aku tuhan. Beri aku ketabahan untuk melewati ini
semua.
Biodata
Penulis :
Nama : Dian Maya
Maulida
Alamat :
Matangglumpangdua Meunasah Timu
Pekerjaan : Mahasiswi Institut Agama Islam Almuslim
Bireuen-Aceh
Fakultas/Jurusan : Perbankan
Syariah
Facebook : Dian Maya
Maulida
Twitter :
@Mayamualidaa.
Email :
dianmayamaulida@gmail.com
0 komentar:
Posting Komentar