Kata pertama yang
ingin kugambarkan tentang aceh adalah indah. Aceh indah dengan segala hal yang
dimilikinya dan aku menyukainya namun dibalik itu, hal yang paling aku sukai
dari Aceh adalah wanita dengan hijab yang panjang menjuntai menuju dadanya. Aku
iri karena sampai saat ini aku tak seperti mereka. Tak pernah ada penutup
dikepalaku ini.
*****
Aku termenung sejenak didepan
labtopku setelah menuliskannya dan mencoba membacanya berkali-kali sampai aku
bosan. Aku begitu menyukai Aceh dengan wanita dalam balutan hijabnya yang
begitu panjang menjuntai ke dada, mungkin karena alasan itulah mengapa sekarang
aku ada disini, di negeri seramoe mekkah.
“Mbak, ayo makan sama-sama” suara
Ratih yang telah ada dibelakangku.
“Iya
Ratih, ayo kita makan” kataku sembari menarik tangannya meninggalkan kamarku.
“Siapa
yang masak makanan ini? ini makanan khas aceh kan?” tanyaku setelah melihat
hidangan makan siang yang telah tertata rapi di meja makan.
“Ratih
lah mbak. Asal mbak tau ya, Ratih itu jagonya kalau disuruh masak kuahpliek” jawab
Ratih sambil tertawa. Ia suka sekali tertawa hingga aku merasa seolah begitu
dekat dengannya. Sebenarnya aku baru mengenalnya seminggu yang lalu, ketika itu
aku sedang makan gado-gado di warung miliknya dan setelah makan, aku bertanya
padanya dimana ada penginapan terdekat di daerah ini namun ia tertawa ketika
mendengar pertanyaanku. Katanya, bagaimana mungkin ada penginapan ditempat
terpencil begini, turis mana yang mau datang untuk menginap namun akhirnya dia
mengajakku tinggal dirumahnya setelah aku menceritakan maksud kedatanganku ke
Aceh.
Aku
menyukai Ratih sejak pertama melihatnya. Ia sama seperti gadis-gadis lain
dengan jilbab besarnya yang menutupi dada. Bahkan mungkin ia termasuk salah
satu diantara gadis-gadis lain yang paling cantik. Dan mungkin pilihanku
tinggal di rumahnya adalah pilihan yang tepat karena aku bisa bertanya banyak
tentang Aceh, khususnya tentang wanita Aceh.
*****
“Ratih,
kamu cantik dengan balutan jilbab merahmu yang besar menutupi dadamu” pujiku
ketika duduk diserambi rumahnya setelah makan siang.
“Makasih,
mbak juga cantik kok tapi kenapa tidak menggunakan jilbab?” jawabnya sembari
kembali bertanya padaku.
Aku
tersenyum mendengar pertanyaannya yang begitu polos. Tak ada jawaban yang bisa
kujawab karena pasti akan konyol bila aku menjawab penyebabnya hanya karena di daerahku
semua wanita jarang menggunakan jilbab dan aku sendiri belum menemukan alasan
yang tepat mengapa harus menggunakan jilbab meski sebenarnya aku begitu
menyukai wanita dengan jilbab panjangnya. Mungkin karena aku tak begitu paham
dengan agama, aku tak tau mengapa agama islam menyuruh wanita untuk berjilbab.
Aku tak tau apapun tentang agama karena keluargaku begitu modern hingga mereka
menganggap agama itu tabu.
“Kenapa
wanita harus menggunakan jilbab?” tanyaku dengan rasa penasaran yang begitu
dalam. Rasa penasaran yang telah lama aku ingin tau jawabannya dan rasa
penasaran yang pada akhirnya membawaku kesini.
“Jawaban
pertama karena memang wanita dalam islam dianjurkan berjilbab namun dibalik itu
semua, memakai jilbab sangat besar manfaatnya mbak karena dengan jilbab, wanita
lebih terjaga. Terjaga dari pandangan laki-laki yang menyukainya dan terjaga
dari lingkungan yang mungkin bisa merusaknya. Begitulah islam begitu menjaga
para wanita” jawab Ratih dengan muka yang penuh dengan senyuman.
Aku
terdiam sejenak setelah mendengar jawaban ratih, mencoba kembali mencerna
kata-katanya yang menjadi pertanyaanku selama ini. masih ada banyak sekali pertanyaan-pertanyaan
yang ingin aku tanyakan padanya namun percakapan kami terputus saat kudengar
sayup-sayup suara azan berkumandang dari Mesjid al ikhlas yang terletak tak
begitu jauh dari rumahnya. Ratih langsung berdiri dan mengajakku untuk
mengambil wudhu’ hingga bisa melaksanakan shalat berjamaah di masjid dan aku
menuruti ajakannya, lalu berjalan disampingnya menapaki langkah menuju kepada
sang maha pencipta. memunajatkan rasa syukur untuk nafas yang masih bisa
kuhirup dan untuk nikmat yang tak pernah berhenti.
Kami
berdiri berdampingan didalam masjid yang terasa begitu teduh saat mengerjakan
shalat magrib berjamaah. Rasanya hati begitu damai dengan kepenatan yang
kujalani dalam hari-hariku dan doaku untuk hari yang digantikan malam ini, aku
berharap semoga Allah selalu membuka hatiku menuju kebenaran dan menjadikanku
esoknya menjadi wanita yang seperti yang islam ajarkan. Menjadi muslimah
sejati. Setelah menyelesaikan doa, kami berdua bergegas pulang, kembali
menelusuri jalanan yang telah kami lalui ketika menuju masjid. Dalam perjalanan
pulang, Ratih bertanya untuk pertanyaan yang tak kutau harus kuberi jawaban
apa.
“Mbak,
menurut mbak kenapa Allah menyuruh kita hambanya untuk shalat?”
Aku
terdiam, tak pernah terfikir olehku akan pertanyaan seperti itu. dan sikap
diamku membuat suasana begitu sunyi hingga Ratih memecahkan kesunyian itu
dengan kembali bertanya, “apa yang mbak rasakan ketika shalat dan bahkan
setelah shalat?”. aku mencoba mencari jawabannya, mengingat apa yang baru saya
aku alami setelah shalat berjamaah.
“Rasanya
hati mbak begitu tenang dan damai meski banyak masalah menumpuk, aktifitas yang
melelahkan dan bahkan rasa kejenuhan untuk kehidupan mbak sendiri”.
“Kalau
menurut Ratih, itulah alasan mengapa kita dituntut untuk melaksanakan shalat,
karena Allah tau apa yang dibutuhkan hamba-hambanya. Allah tau bahwa kita hanya
manusia biasa yang begitu lemah hingga membutuhkan tempat untuk menumpahkan
segalan keluh kesah dan harapan dalam doa-doa kepada sang maha pemberi
segalanya”. Jawab Ratih dengan senyuman penuh keikhlasan.
Aku
memperhatikan Ratih yang masih dalam senyumannya dan ketika kupandangi wajah
lembut itu, aku sadar bahwa memang beginilah wanita yang sebenarnya. Sederhana
dalam balutan kerudungnya yang masih selalu menjuntai menuju dadanya, yang
dengan itu menjaga martabatnya bukan wanita kota yang katanya modern dengan
pakaian yang sebenarnya menjatuhkan martabatnya. Aku ingin suatu saat mampu
menjadi seperti dia, dengan balutan kerudung yang menutupi dada.
*****
Pagi
ini hari begitu cerah, dengan langit biru yang tak sedikitpun dinodai oleh
mendung. Aku menyukainya bahkan dari dulu aku selalu menyukai langit cerah
karena bagiku, langit cerah datang bersama kebahagiaan dan hari ini aku bahagia
karena bisa menikmati langit cerah ditanah seramoe mekkah dalam sebulan
ini.
“Ratih,
mau bantu mbak gak?” Tanyaku yang sekarang sedang berdiri didalam kamarnya.
“Boleh
mbak, mau dibantu apa?” tanya Ratih yang kemudian bergegas bangun dari tempat
tidurnya.
“Mungkin
mbak minggu depan akan pulang karena semua pertanyaan dan rasa penasaran mbak
telah terjawab. Jadi sebelum mbak pulang, ada hal yang dari dulu selalu ingin
mbak lakuin tapi keraguan selalu menghapus keinginan itu dan hari ini hati mbak
telah yakin tanpa sedikitpun keraguan. Mbak ingin memakai jilbab Ratih, sama
seperti kamu, jilbab panjang yang menjuntai hingga menutupi dada. Mbak ingin
jadi muslimah sejati yang seperti islam ajarkan. Bantu ajarin mbak cara memakai
jilbabnya ya Ratih” tuturku begitu bersemangat dengan hati yang dipenuhi dengan
kebahagiaan yang tak mampu kujelaskan dengan kata.
“Pasti
mbak, akan Ratih ajarin. Itu yang dari dulu selalu Ratih harapkan dalam setiap
doa-doa Ratih mbak. Ratih bahagia mendengar keinginan mbak” Ratih begitu
bersemangat hingga ia mengambil beberapa helai jilbab yang akan ia coba
pakaikan padaku.
Aku
hanya duduk didepan cermin, menunggu Ratih menyelesaikan pekerjaannya
memakaikan jilbab padaku. Ia memilih jilbab dengan warna merah jambu yang
begitu serasi dengan bajuku. Tangannya begitu terampil mengerjakannya dan itu
wajar saja karena memang setiap harinya ia begitu pandai menata jilbabnya.
Katanya biar orang tau bahwa cantik itu tidak ketika pakaian berbau mini ala
eropa dan kepala kita terbuka tapi cantik itu juga bisa meski dengan pakaian
yang longgar dan kepala yang tertutup jilbab tapi memang aku akui bahwa Ratih
begitu cantik.
Setelah
sepuluh menit menunggu, akhirnya aku telah siap dengan penampilan baru. Aku
berdiri dicermin dan melihat diriku yang kini seperti Ratih dalam balutan
jilbab panjang besar yang menjuntai menutupi dada. Pandanganku tak kunjung
berpaling dari cermin karena rasanya aku belum yakin bahwa wanita yang sedang
berdiri didepanku adalah diriku sendiri. aku merasa begitu cantik dan terjaga
dengan jilbab ini. hanya senyum dan ucapan terima kasih yang mampu kuucapkan
karena hatiku terlalu membuncah karena haru.
“Mbak
cantik sekali dengan jilbab itu. terasa lebih anggun” kata Ratih yang seperti
meniru ucapanku dulu yang pernah aku ucapkan padanya.
“Terima
kasih Ratih. Telah mengajarkan banyak hal kepada mbak selama mbak disini. Mbak
bahagia sekali. Sekarang mbak bukan lagi Putri Ningsih yang dulu, dengan
pakaian tanpa hijab tapi sekarang mbak adalah Putri Ningsih yang akan selalu
mencoba menjadi wanita dengan hijab yang dirindui surga.” Ucapku sembari
memeluk Ratih erat. Dalam hati kuucapkan begitu besar rasa syukurku pada Allah
yang masih saja begitu menyayangiku hingga saat ini.
“sama-sama
mbak” jawab Ratih yang masih dalam pelukanku.
*****
Hari
ini aku akan kembali pulang menuju tanah kelahiranku dan meninggalkan tanah seramoe
mekkah ini. Rasanya kaki ini begitu enggan melangkah meninggalkan tempat
ini karena hatiku telah separuh kutinggalkan disini tanpa sadar. Kulihat Ratih
dan keluarganya yang kini sedang berdiri digerbang rumahnya untuk melepaskan
kepergianku. Aku mendekati orang tua Ratih dan mengucapkan terima kasih yang
tak terhingga untuk uluran tangan mereka yang begitu terbuka lebar menerimaku
disini. Setelah itu aku mendekati Ratih dan berdiri didepannya.
“Ratih
mbak akan pulang hari ini ke Bandung. Jaga dirimu dan keluargamu baik-baik ya.
Terima kasih yang mungkin tak cukup dengan hanya seikat kata itu untuk semua
kebaikanmu selama ini hingga mbak bisa sampai begini. Kapan-kapan jika Ratih ke
Bandung, hubungi mbak ya”
Aku
kembali memeluknya dan tak terasa butiran bening itu mengalir dipipi lembutku
hingga tetesan terakhirnya menuju jilbab merah jambuku yang aku dapatkan
sebagai hadiah dari Ratih. Aku menghapus air mataku dan mengucapkan selama
tinggal kepada semuanya.
*****
Hari
ini Bandung gerimis namun hatiku tetap bahagia meski kecerahan mentari tak
seperti biasanya hadir membawa kebahagiaan. Aku bahagia karena bukuku hari ini
telah terbit. Kupandangi buku itu sembari tersenyum karena ketika melihat buku
ini, aku seperti kembali melihat Ratih dihadapanku. Aku meletakkan buku itu
kedalam sebuah kotak kado yang telah aku siapkan dan diatasnya kembali
kuletakkan sebuah surat yang telah kutuliskan untuk Ratih.
“Terima
kasih Ratih karena telah menjadi wanita berkerudung hikmah yang seperti judul
sampul novelku. Terima kasih telah menjadi guru terbaikku dan terima kasih
telah menjadi inspirasiku. Kupersembahkan buku ini untuk wujud rasa terima
kasih itu” batinku dalam hati kembali mengulang kata-kata dalam surat yang
tadi malam kutuliskan.
0 komentar:
Posting Komentar