Forum Menulis Mahasiswa Institut

Selasa, 10 Februari 2015

Selebar Selendang Merah Jambu

Kata pertama yang ingin kugambarkan tentang aceh adalah indah. Aceh indah dengan segala hal yang dimilikinya dan aku menyukainya namun dibalik itu, hal yang paling aku sukai dari Aceh adalah wanita dengan hijab yang panjang menjuntai menuju dadanya. Aku iri karena sampai saat ini aku tak seperti mereka. Tak pernah ada penutup dikepalaku ini.
                                                            *****

            Aku termenung sejenak didepan labtopku setelah menuliskannya dan mencoba membacanya berkali-kali sampai aku bosan. Aku begitu menyukai Aceh dengan wanita dalam balutan hijabnya yang begitu panjang menjuntai ke dada, mungkin karena alasan itulah mengapa sekarang aku ada disini, di negeri seramoe mekkah.
            “Mbak, ayo makan sama-sama” suara Ratih yang telah ada dibelakangku.
            “Iya Ratih, ayo kita makan” kataku sembari menarik tangannya meninggalkan kamarku.
            “Siapa yang masak makanan ini? ini makanan khas aceh kan?” tanyaku setelah melihat hidangan makan siang yang telah tertata rapi di meja makan.
            “Ratih lah mbak. Asal mbak tau ya, Ratih itu jagonya kalau disuruh masak kuahpliek” jawab Ratih sambil tertawa. Ia suka sekali tertawa hingga aku merasa seolah begitu dekat dengannya. Sebenarnya aku baru mengenalnya seminggu yang lalu, ketika itu aku sedang makan gado-gado di warung miliknya dan setelah makan, aku bertanya padanya dimana ada penginapan terdekat di daerah ini namun ia tertawa ketika mendengar pertanyaanku. Katanya, bagaimana mungkin ada penginapan ditempat terpencil begini, turis mana yang mau datang untuk menginap namun akhirnya dia mengajakku tinggal dirumahnya setelah aku menceritakan maksud kedatanganku ke Aceh.
            Aku menyukai Ratih sejak pertama melihatnya. Ia sama seperti gadis-gadis lain dengan jilbab besarnya yang menutupi dada. Bahkan mungkin ia termasuk salah satu diantara gadis-gadis lain yang paling cantik. Dan mungkin pilihanku tinggal di rumahnya adalah pilihan yang tepat karena aku bisa bertanya banyak tentang Aceh, khususnya tentang wanita Aceh.
                                                                        *****
          
  “Ratih, kamu cantik dengan balutan jilbab merahmu yang besar menutupi dadamu” pujiku ketika duduk diserambi rumahnya setelah makan siang.
            “Makasih, mbak juga cantik kok tapi kenapa tidak menggunakan jilbab?” jawabnya sembari kembali bertanya padaku.
            Aku tersenyum mendengar pertanyaannya yang begitu polos. Tak ada jawaban yang bisa kujawab karena pasti akan konyol bila aku menjawab penyebabnya hanya karena di daerahku semua wanita jarang menggunakan jilbab dan aku sendiri belum menemukan alasan yang tepat mengapa harus menggunakan jilbab meski sebenarnya aku begitu menyukai wanita dengan jilbab panjangnya. Mungkin karena aku tak begitu paham dengan agama, aku tak tau mengapa agama islam menyuruh wanita untuk berjilbab. Aku tak tau apapun tentang agama karena keluargaku begitu modern hingga mereka menganggap agama itu tabu.
            “Kenapa wanita harus menggunakan jilbab?” tanyaku dengan rasa penasaran yang begitu dalam. Rasa penasaran yang telah lama aku ingin tau jawabannya dan rasa penasaran yang pada akhirnya membawaku kesini.
            “Jawaban pertama karena memang wanita dalam islam dianjurkan berjilbab namun dibalik itu semua, memakai jilbab sangat besar manfaatnya mbak karena dengan jilbab, wanita lebih terjaga. Terjaga dari pandangan laki-laki yang menyukainya dan terjaga dari lingkungan yang mungkin bisa merusaknya. Begitulah islam begitu menjaga para wanita” jawab Ratih dengan muka yang penuh dengan senyuman.
            Aku terdiam sejenak setelah mendengar jawaban ratih, mencoba kembali mencerna kata-katanya yang menjadi pertanyaanku selama ini. masih ada banyak sekali pertanyaan-pertanyaan yang ingin aku tanyakan padanya namun percakapan kami terputus saat kudengar sayup-sayup suara azan berkumandang dari Mesjid al ikhlas yang terletak tak begitu jauh dari rumahnya. Ratih langsung berdiri dan mengajakku untuk mengambil wudhu’ hingga bisa melaksanakan shalat berjamaah di masjid dan aku menuruti ajakannya, lalu berjalan disampingnya menapaki langkah menuju kepada sang maha pencipta. memunajatkan rasa syukur untuk nafas yang masih bisa kuhirup dan untuk nikmat yang tak pernah berhenti.
            Kami berdiri berdampingan didalam masjid yang terasa begitu teduh saat mengerjakan shalat magrib berjamaah. Rasanya hati begitu damai dengan kepenatan yang kujalani dalam hari-hariku dan doaku untuk hari yang digantikan malam ini, aku berharap semoga Allah selalu membuka hatiku menuju kebenaran dan menjadikanku esoknya menjadi wanita yang seperti yang islam ajarkan. Menjadi muslimah sejati. Setelah menyelesaikan doa, kami berdua bergegas pulang, kembali menelusuri jalanan yang telah kami lalui ketika menuju masjid. Dalam perjalanan pulang, Ratih bertanya untuk pertanyaan yang tak kutau harus kuberi jawaban apa.
            “Mbak, menurut mbak kenapa Allah menyuruh kita hambanya untuk shalat?”
            Aku terdiam, tak pernah terfikir olehku akan pertanyaan seperti itu. dan sikap diamku membuat suasana begitu sunyi hingga Ratih memecahkan kesunyian itu dengan kembali bertanya, “apa yang mbak rasakan ketika shalat dan bahkan setelah shalat?”. aku mencoba mencari jawabannya, mengingat apa yang baru saya aku alami setelah shalat berjamaah.
            “Rasanya hati mbak begitu tenang dan damai meski banyak masalah menumpuk, aktifitas yang melelahkan dan bahkan rasa kejenuhan untuk kehidupan mbak sendiri”.
            “Kalau menurut Ratih, itulah alasan mengapa kita dituntut untuk melaksanakan shalat, karena Allah tau apa yang dibutuhkan hamba-hambanya. Allah tau bahwa kita hanya manusia biasa yang begitu lemah hingga membutuhkan tempat untuk menumpahkan segalan keluh kesah dan harapan dalam doa-doa kepada sang maha pemberi segalanya”. Jawab Ratih dengan senyuman penuh keikhlasan.
            Aku memperhatikan Ratih yang masih dalam senyumannya dan ketika kupandangi wajah lembut itu, aku sadar bahwa memang beginilah wanita yang sebenarnya. Sederhana dalam balutan kerudungnya yang masih selalu menjuntai menuju dadanya, yang dengan itu menjaga martabatnya bukan wanita kota yang katanya modern dengan pakaian yang sebenarnya menjatuhkan martabatnya. Aku ingin suatu saat mampu menjadi seperti dia, dengan balutan kerudung yang menutupi dada.
                                                            *****
            Pagi ini hari begitu cerah, dengan langit biru yang tak sedikitpun dinodai oleh mendung. Aku menyukainya bahkan dari dulu aku selalu menyukai langit cerah karena bagiku, langit cerah datang bersama kebahagiaan dan hari ini aku bahagia karena bisa menikmati langit cerah ditanah seramoe mekkah dalam sebulan ini. 
            “Ratih, mau bantu mbak gak?” Tanyaku yang sekarang sedang berdiri didalam kamarnya.
            “Boleh mbak, mau dibantu apa?” tanya Ratih yang kemudian bergegas bangun dari tempat tidurnya.
            “Mungkin mbak minggu depan akan pulang karena semua pertanyaan dan rasa penasaran mbak telah terjawab. Jadi sebelum mbak pulang, ada hal yang dari dulu selalu ingin mbak lakuin tapi keraguan selalu menghapus keinginan itu dan hari ini hati mbak telah yakin tanpa sedikitpun keraguan. Mbak ingin memakai jilbab Ratih, sama seperti kamu, jilbab panjang yang menjuntai hingga menutupi dada. Mbak ingin jadi muslimah sejati yang seperti islam ajarkan. Bantu ajarin mbak cara memakai jilbabnya ya Ratih” tuturku begitu bersemangat dengan hati yang dipenuhi dengan kebahagiaan yang tak mampu kujelaskan dengan kata.
            “Pasti mbak, akan Ratih ajarin. Itu yang dari dulu selalu Ratih harapkan dalam setiap doa-doa Ratih mbak. Ratih bahagia mendengar keinginan mbak” Ratih begitu bersemangat hingga ia mengambil beberapa helai jilbab yang akan ia coba pakaikan padaku.
            Aku hanya duduk didepan cermin, menunggu Ratih menyelesaikan pekerjaannya memakaikan jilbab padaku. Ia memilih jilbab dengan warna merah jambu yang begitu serasi dengan bajuku. Tangannya begitu terampil mengerjakannya dan itu wajar saja karena memang setiap harinya ia begitu pandai menata jilbabnya. Katanya biar orang tau bahwa cantik itu tidak ketika pakaian berbau mini ala eropa dan kepala kita terbuka tapi cantik itu juga bisa meski dengan pakaian yang longgar dan kepala yang tertutup jilbab tapi memang aku akui bahwa Ratih begitu cantik.
            Setelah sepuluh menit menunggu, akhirnya aku telah siap dengan penampilan baru. Aku berdiri dicermin dan melihat diriku yang kini seperti Ratih dalam balutan jilbab panjang besar yang menjuntai menutupi dada. Pandanganku tak kunjung berpaling dari cermin karena rasanya aku belum yakin bahwa wanita yang sedang berdiri didepanku adalah diriku sendiri. aku merasa begitu cantik dan terjaga dengan jilbab ini. hanya senyum dan ucapan terima kasih yang mampu kuucapkan karena hatiku terlalu membuncah karena haru.
            “Mbak cantik sekali dengan jilbab itu. terasa lebih anggun” kata Ratih yang seperti meniru ucapanku dulu yang pernah aku ucapkan padanya.
            “Terima kasih Ratih. Telah mengajarkan banyak hal kepada mbak selama mbak disini. Mbak bahagia sekali. Sekarang mbak bukan lagi Putri Ningsih yang dulu, dengan pakaian tanpa hijab tapi sekarang mbak adalah Putri Ningsih yang akan selalu mencoba menjadi wanita dengan hijab yang dirindui surga.” Ucapku sembari memeluk Ratih erat. Dalam hati kuucapkan begitu besar rasa syukurku pada Allah yang masih saja begitu menyayangiku hingga saat ini.
            “sama-sama mbak” jawab Ratih yang masih dalam pelukanku.

                                                            *****
            Hari ini aku akan kembali pulang menuju tanah kelahiranku dan meninggalkan tanah seramoe mekkah ini. Rasanya kaki ini begitu enggan melangkah meninggalkan tempat ini karena hatiku telah separuh kutinggalkan disini tanpa sadar. Kulihat Ratih dan keluarganya yang kini sedang berdiri digerbang rumahnya untuk melepaskan kepergianku. Aku mendekati orang tua Ratih dan mengucapkan terima kasih yang tak terhingga untuk uluran tangan mereka yang begitu terbuka lebar menerimaku disini. Setelah itu aku mendekati Ratih dan berdiri didepannya.
            “Ratih mbak akan pulang hari ini ke Bandung. Jaga dirimu dan keluargamu baik-baik ya. Terima kasih yang mungkin tak cukup dengan hanya seikat kata itu untuk semua kebaikanmu selama ini hingga mbak bisa sampai begini. Kapan-kapan jika Ratih ke Bandung, hubungi mbak ya”
            Aku kembali memeluknya dan tak terasa butiran bening itu mengalir dipipi lembutku hingga tetesan terakhirnya menuju jilbab merah jambuku yang aku dapatkan sebagai hadiah dari Ratih. Aku menghapus air mataku dan mengucapkan selama tinggal kepada semuanya.
                                                            *****
            Hari ini Bandung gerimis namun hatiku tetap bahagia meski kecerahan mentari tak seperti biasanya hadir membawa kebahagiaan. Aku bahagia karena bukuku hari ini telah terbit. Kupandangi buku itu sembari tersenyum karena ketika melihat buku ini, aku seperti kembali melihat Ratih dihadapanku. Aku meletakkan buku itu kedalam sebuah kotak kado yang telah aku siapkan dan diatasnya kembali kuletakkan sebuah surat yang telah kutuliskan untuk Ratih.

            “Terima kasih Ratih karena telah menjadi wanita berkerudung hikmah yang seperti judul sampul novelku. Terima kasih telah menjadi guru terbaikku dan terima kasih telah menjadi inspirasiku. Kupersembahkan buku ini untuk wujud rasa terima kasih itu” batinku dalam hati kembali mengulang kata-kata dalam surat yang tadi malam kutuliskan.

0 komentar:

Posting Komentar