Forum Menulis Mahasiswa Institut

Sabtu, 27 Desember 2014

“ Nanti, kalau ada informasi baru, aku kabari”. Tutur temanku sambil mengunyah makanan ringan. Wajahnya mengerang kelelahan. Wajar saja, kami adalah pekerja Romusa yang berhati ikhlas. Setiap pagi kami berseragam dengan tas jinjing hitam, layaknya lelaki mapan yang berdompet tebal. Bahkan nyaris, setiap penumpang minibus yang pernah ku tumpangi terlihat segan jika bertatap mata denganku. Mungkin aku terlihat gagah dengan setelan kemeja itu.

Malam itu, hafiz teman senasibku berencana pulang lebih awal. Karena kakaknya sedang dirawat di rumah sakit. Kami istirahat sebentar sambil membicarakan keadaan kakaknya. juga cost yang harus dikeluarkan untuk melunasi biaya perawatan. Tak tampak raut sedih di wajahnya. Entah karena disembunyikan, atau memang ia sedang tidak ingin memikirkannya. Yang jelas, seperti biasanya. Banyak canda dalam waktu istirahat kami yang sempit itu. sambil mengunyah makanan ringan yang teksturnya keras.

“ Gila ni makanan 500-an !!!” , pekiknya sambil mengelus rahang

“ Hehehe, berdoalah supaya cepat kaya”.

“ Tapi aku yakin, suatu hari kita akan jadi orang kaya”. Ia berusaha bicara sambil mengunyah makanan itu.

“ Kaya hati mungkin?”.

“ Itu nilai nominalnya, liat saja nanti kalau aku kaya, akan ku persunting si Dewi yang sok-sok ilfeel  waktu melihatku.”. Mimiknya yakin.

“ Mudah-mudahan saja dia mau”

“ Pastinya dia mau, kalau saja aku gak seperti ini”. Kali ini ia menghela nafas.
Kami berbincang singkat lalu ia beranjak pulang. Rumah kami tidak searah. Kami selalu berpisah di persimpangan jalan. Letak rumahnya jauh lebih dekat daripada tempat tinggalku. karena itu dia selalu datang lebih awal ke lokasi kerja. Lalu berbicara sombong sambil tertawa bangga dan menyindir.

“ Orang sukses itu adalah orang yang disiplin, tidak seperti kamu yang selalu datang telat ”.  jenakanya sambil menyenggol tubuhku yang masih bau asap kendaraan.

“ Sombong”. Sahutku melepas olokannya.

“Hmhmh”. Dia bergumam.

“ Ini, sapu yang paling bagus untuk kamu, aku pakai yang ini”.

Ia langsung meraihnya sambil merangkul bahuku dengan tersenyum, membawaku jalan menuju trotoar untuk membersihkan sampah. Ya, kami adalah penyapu jalanan. Pagi-pagi sekali Kami harus tiba ke lokasi untuk membersihkan kota dari sampah jalanan yang membanjiri. Bahkan atasan kami pun tak pernah tiba di kantornya sepagi kami. Padahal, mereka punya kendaraan mewah yang bisa membawa mereka ke mana saja.

Walaupun profesi kami sebagai kuli kebersihan, bukan berarti kami manusia yang tidak bersekolah. Aku dan temanku itu adalah sarjana strata satu yang merunduk karena di gerus lapangan kerja. Ia yang pertama kali mengajakku untuk memegang gagang sapu dan mencium aroma sampah yang bau. Dalihnya, tidak ada orang yang sukses dalam waktu singkat. Tentunya, kita harus memulai semuanya dari bawah. dan aku tidak membantah ajakannya. Ku iyakan saja untuk membuatnya senang. Pula, kantong kosong juga menjadi alasan sekunder untuk menerima ajakannya.

Ketika itu pula, kami mengatur siasat untuk mengelabui orang tua agar mereka bangga. Bangga karena mereka tidak merasa rugi setelah menyekolahkan kami di perguruan tinggi. Karena itu, setiap pagi kami berpakaian rapi dari rumah dan pura-pura mengerjakan tugas yang belum kami selesaikan di kantor ketika malam. Ibuku tersenyum bangga sambil menasehati adikku yang paling kecil yang sedang mengerjakan PR.

“ Dedek kalau mau sukses, harus sekolah tinggi-tinggi. Liat abang, sekarang uda kerja di kantor”

Miris, aku memejam erat sejenak. Lalu menarik nafas. Senyumannya kala melihatku membuatku sulit. Apalagi saat gajian. Seluruh uangku kuberikan kepada ibu dan kukatakan, itu setengah dari gajiku, selebihnya telah ku simpan untuk keperluanku sehari-hari.
*****

Saat hari pertama bekerja. Aku melihat secarik kertas yang ditempel di gagang sapu partnerku itu. Ku kira itu Cuma perilaku kurang kerjaan-nya yang selalu kulihat. Nyatanya, itu adalah daftar mimpinya yang telah dirancang. Dari menjadi tukang sapu sampai menempuh program Doctor di salah satu Universitas ternama di Indonesia. Karenanya, aku juga ikut-ikutan merancang mimpi-mimpi yang terus bermain di pikiran, lalu kulupakan begitu saja.

Namun, kebersamaan kami terpecah. Saat proposal beasiswanya di Dikti rampung. Padahal saat itu, kami menyusun proposal itu dengan format yang sama. Tapi, aku tidak pupus karena kejadian itu. Di satu sisi, aku salut dengan mimpi-mimpi dan semangatnya yang tinggi. Namun, Di sisi lain aku juga merasa sedih karena setelah ini, kami akan mengejar mimpi masing-masing tanpa seiring langkah lagi. Lalu Aku hanya tersenyum lemas, melihatnya kegirangan sambil memainkan sapunya di hari terakhir ia bekerja.

“ Aku akan menikahi Dewi !!” Ia meneriaki sapunya

“ Kamu tau? aku akan pergi dan meninggalkan kamu sendiri di sini. Tapi . . . tenanglah, Setelah kantongku tebal, aku akan meminjamimu uang untuk menikahi hafsah”. Candanya gamblang sambil menepuk bahuku.

Setelah hari itu, ia tak pernah tampak lagi. Hanya sapunya yang tinggal dan membuatku menjadi orang bodoh. aku selalu membawa dua sapu setiap pagi, punyaku dan miliknya. Bahkan, saat aku melepas penat. Duduk di trotoar jalan dengan wajah kumuh sambil meneguk air dingin.
*****

         2 tahun telah berlalu. Rahasia yang selama ini ku sembunyikan dari orang tuaku telah terbongkar. Ia begitu pilu ketika tahu, bahwa selama ini aku membohonginya. Hari-hari berwarna suram kali itu. Seperti hancur, namun harus selalu tersenyum. Seperti kata hafsah. Sang Bunga warna warni yang tidak mau lekang dari dasar hati.

         Aku dan hafsah telah lama bersama. Semuanya dimulai ketika kami masih menimba ilmu di sebuah perguruan tinggi di daerahnya. Sebelumnya, aku telah dibuat bingung oleh suasana hati yang kalang kabut. Mencari cinta yang telah lama tak kurasakan lagi. Lalu aku terkejut, setelah banyak malam yang kuhabiskan untuk mengadu kepada Sang Khaliq dengan perasaan malu. Terkejut saat kutemukan jawaban dari semua pintaku yang tidak banyak. Rupanya, Keindahan yang selama ini kucari adalah dia. Perempuan yang selalu ku ajak tertawa dan sebagainya. Bodoh, aku mengunduh tersenyum buta.

         Awalnya, aku menyembunyikan pekerjaanku kepada hafsah. Namun, ia terlanjur tahu setelah beberapa kali memperhatikan saat aku bertugas tepat di depan sekolah tempat ia mengajar. Memang aku menutup seluruh tubuhku dengan seragam kuning serta mengenakan penutup mulut. Namun, ia begitu hafal cara berjalanku, cara aku bergerak dan lain-lain. ketika itu, ia menghampiri dan menarik penutup mulutku dengan berani.

         “ kenapa kamu tidak pernah cerita?”. Matanya berkaca-kaca.

      Aku hanya diam karena tidak tahu harus memulai jawaban itu dari mana. Lekas ia beranjak dan menungguku di trotoar dekat tiang listrik. Padahal, banyak pohon rindang yang bisa ia pilih untuk menghindari sengatan terik matahari. Aku tahu, ia ingin aku bergegas menyelesaikan pekerjaanku dan tidak membiarkannya berdiri di sana. Aku mengumpulkan beberapa sampah dan bergegas menghampirinya.

         “ Jaki, hari ini aku shift ya? , besok jatahmu aku yang ganti !!” , pekikku tanpa basa basi.

       Aku menghampiri dan mengajaknya untuk berbicara sejenak. Sambil membujuknya untuk beranjak dari tempat itu dengan caraku. Lalu kami duduk di sebuah kios liar yang berada di tepi jalan dan mulai menceritakan semuanya. Ku ceritakan dari masalah ibu, juga hafiz yang telah pergi melanjutkan pendidikannya. Ia hanya tertegun, menunduk sambil terisak seperti tidak mendengarkan cerita panjang lebarku. Sampai setiap mata tertuju ke arah kami. Mungkin mereka bingung, kenapa seorang penyapu jalanan telah membuat guru itu menangis. Aku sudah tak peduli karena terlanjur panik. Namun setelahnya, aku di ikat janji untuk tidak menyembunyikan apapun darinya. lalu aku mengiyakan.

       Setelah hari itu, ia mulai kembali seperti dulu. Seperti ketika ia tidak mengetahui tentang aku dan pekerjaanku. Terkadang, ia datang dan membawakan sedikit cemilan saat waktu shalat tiba sambil melepas beberapa canda. Setiap bulan, kami juga pergi ke warung nasi yang agak elegan untuk menghabiskan sedikit bagian dari gaji kami. Saling mentraktir ketika waktu gajian kami tiba. Ia cerdas untuk tidak memberatkanku. Ketika gajinya cair, ia mentraktirku dengan memesan menu eksklusif tanpa menanyakannya terlebih dahulu. Namun, saat waktu gajianku tiba, ia tidak ingin memesan menu makanan seperti menu makanan yang pernah ia traktir. Aku pernah mencoba untuk memesan seperti caranya. Namun, ia tidak ingin memakannya dan menyuruh pelayan untuk membungkusnya. Saat beranjak menaiki angkutan untuk pulang, ia membuka tasku dan memasukkan makanan tersebut ke dalamnya. Saat pintu mobil nyaris tertutup. Ia tersenyum dan mengatakan “ berikan untuk ibu saja”. Mobil terus melaju, dan aku bingung sambil melihatnya yang semakin jauh.
*****

        Suatu hari, aku ditugaskan jauh dari lokasi yang biasanya. Kabid keindahan dan kenyamanan di dinas kami, menaikkan jabatanku menjadi Danton para Romusa itu. Pekerjaanku tentu tidak seberat dulu lagi. Atasanku telah menjelaskan bahwa posisiku hanya sebagai monitoring. Tapi entah kenapa aku tidak kegirangan. Rasanya berat meninggalkan lokasi kerjaku yang dulu. Aku ingat setiap sudut tempatnya. Juga beberapa kenangan indah yang menaikkan semangat kerjaku.

       Sempat kukabarkan kepada hafsah tentang mutasi itu. Ia mengatakan bahwa ia senang dengan kenaikan jabatanku. Namun, senyumannya palsu. Pula senyumku. Di hari pertama kerja, aku sempat singgah di depan sekolah tempat ia mengajar. Dan mencoba untuk menghubunginya untuk kesekian kali. Namun tidak ada kabar darinya. Prasangkaku Mungkin ia sedang sibuk. Lantas, aku lekas berangkat ke lokasi kerjaku yang baru, kurang lebih 40 km dari lokasi awal sambil meninggalkan beberapa pesan lewat sms.

         Jarak tempuh yang begitu jauh, mengharuskanku untuk menetap sementara di sana. Aku menyewa rumah yang tidak besar. Cukup  untuk ruang tidur, masak, mandi dan menonton televisi. Aku juga menyempatkan waktu untuk menghubunginya. Dan sesekali pulang berjumpa untuk melepas sesak. Masih seperti dulu. Mentraktir dan ditraktir. Namun, kesibukan masing-masing dan jarak yang jauh akhirnya membuat kedekatan kami menjadi sedikit renggang. Kami hanya dapat menjalin komunikasi via telepon selular.

*****

        2 setengah tahun bukanlah waktu yang singkat. Aku menjalaninya dengan berat. Jauh dari orang tua, kerabat dan orang-orang yang disayang. Tidak bisa berbuat banyak. Aku hanya menjalani setiap detiknya hanya dengan semangat untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Juga sedikit tabungan untuk melamar hafsah. Meskipun, belum begitu banyak.
Suatu hari, aku mendapatkan telepon dari seorang laki-laki yang bersuara segak namun sangat familiar.

       “Bung, lagi di mana?”, tanyanya lantang.

       “Di bukit barisan, ini siapa?” Aku penasaran.

       “ Hafiz” , cetusnya dingin.

     Aku spontan terkejut karena Selama ini, dia tidak pernah menghubungiku. perbincangan terjadi dan Basa basi kami pun melayang. Namun, ada yang hilang dari dirinya. Bicaranya sangat teratur. Jauh berbeda dengan hafiz yang dulu.

       Hafiz memberi kabar bahwa ia sudah pulang. Dan mengajakku untuk bertemu di sebuah warung kopi yang tak jauh dari rumahnya. Aku mengiyakan permintaannya. Dan mulai merancang waktu. Lusa hari, pertemuan itu akan terjadi. Aku membayangkan tentang perubahan-perubahan yang akan ku lihat nanti. Pastinya,  ia akan terlihat berbeda.

*****

        Hari ini, saptu. Aku berpakaian rapi tak seperti biasanya. Memakai dasi dan tas jinjing hitam. Layaknya dulu, saat aku masih menjadi buruh sapu. Pula mengendarai sepeda motor yang tergolong butut untuk jaman sekarang. Satu setengah jam perjalanan dan aku sampai ke lokasi. Sesampainya di sana, aku tidak melihat Hafiz. Lantas aku bergerak masuk ke warkop itu dan memesan secangkir kopi saring. Menunggu sambil membaca koran hari ini.

        3 jam berlalu. Aku mulai menopang kepala, memperlihatkan kebosananku pada waktu. Meja kopinya sampai berdenyit karena kakiku yang terus kugoyangkan  untuk mengatasi rasa kantuk. Aku sudah mencoba untuk menghubungi sebelumnya. Namun, entah kenapa handphone-nya tidak aktif.

       “ Mungkin sebentar lagi”. Aku mencoba meyakinkan diri untuk tidak pulang.

      Ku ulang-ulang kalimat itu setiap kali pikiranku berubah. Aku terus duduk dan tidak beranjak. Kadang-kadang, ku perhatikan detik jam dinding yang bergerak selangkah demi selangkah. Sudah jam 3, aku melipat tanganku dan merebahkan kepala. Sesekali menguap dan tertidur sebentar. Jam 4, aku mulai berkeringat sampai sebahagian bajuku basah. Jam 5, aku bertekat beranjak pulang. Ku panggil pelayan warkop dan ia mulai menghitung 4 gelas kopi yang telah ku minum. Aku melangkah dengan kecewa. Ku longgarkan dasi dan menghela beberapa nafas panjang.

      Namun tiba-tiba,  saat aku mengeluarkan sepeda motorku dari lokasi parkiran,  sebuah sedan berkelas berhenti tepat di hadapanku. Kaca mobilnya di turunkan. Tampak pria gagah dengan pakaian jas, memperhatikanku dari dalam mobilnya. Aku spontan terkejut dan memanggil namanya. Lalu ia turun dan menghampiriku. dengan ekspresi yang tak sama.

     “ Bagaimana kabarmu?”. Tanyanya santai. Sangat berbeda dengan kepribadiaannya yang dulu.

        “ Alhamdulillah, baik”. Aku melebarkan senyuman. Sengaja tak kutanyai kabarnya agar ia merespon. Tapi nihil.

          “ Yuk, kita ngobrol di dalam”. Ajakku

          “Tidak usah”. Lagi-lagi jawaban singkat.

          “ Lalu bagaimana?”. Tanyaku setengah tawa.

          “ Di sini saja, aku ingin memberi tahumu sesuatu dan sebentar saja”

          “ Boleh”. Keningku mengerut.

          “ Maaf sebelumnya jika aku telat”.

          “ Itu bukan masalah”.

      “ Aku baru saja pulang, melamar hafsah”. Tuturnya singkat, tak berani melihat mataku.

          “ Bercanda?”. Aku tertawa padam.

          “ Aku melamar hafsahmu”. Kali ini ia melihatku dengan tajam.

         Pelan-pelan, tawaku menjadi sukar. Entah bagaimana, aku langsung yakin bahwa yang disampaikannya bukanlah lelucon.

        “ kenapa?”. Gigiku saling menggigit dan mulai ku genggam tinjuku dengan erat.

        Ia hanya diam. Seperti pasrah jika aku menghajarnya. Ia melihatku dengan santai. Wajahnya tak menampakkan mimik penyesalan. Ku unduh emosiku, lalu bergerak ke belakang dan pergi bersama sepeda motorku, meninggalkannya.

*****

        Malam itu, aku menghubungi hafsah dengan perasaan hancur. Aku menanyakannya tentang pinangan hafiz untuk mencari penjelasan. Sesaat setelah NSP nya berbunyi, aku langsung mendengar suaranya yang parau. Sepintas, beberapa pertanyaan kulayangkan dengan tenang. Ia menjawab dan di beberapa waktu ia diam.

         Sabtu pagi, hafiz datang bersama keluarganya untuk melamar hafsah. Orang tuanya pun menyambut baik kedatangan mereka. Kemudian, topik pembicaraan mereka mulai meruncing. Hafsah masuk ke kamar dan mengerjakan beberapa tugasnya. Tak lama kemudian, ia dipanggil orang tuanya. Lantas, ia keluar dan melihat hafiz serta keluarganya berpamitan untuk pulang. Hafsah menyalami setiap dari mereka dan mereka pun beranjak.
Ia tidak terkejut setelah mendengar pernyataan ayahnya bahwa maksud kedatangan mereka adalah untuk melamar. Hafsah sudah tahu. Namun, yang ingin ia ketahui apakah orang tuanya menerima atau menolak lamaran tersebut. Jawabannya adalah “diterima”. Dan dunianya pun berubah. Begitu pula dengan duniaku. Tak akan sama lagi.

*****

        Etos kerjaku hancur. Beberapa kali atasanku memberi teguran. Namun aku hanya diam. Suatu hari, aku melayangkan surat pengunduran diri. Dan permohonanku disetujui. Aku mendapatkan gaji pesangon. Atasanku yang menyerahkannya. Ia mengatakan kepadaku bahwa ia kecewa. Namun, ia tidak dapat berkata apa-apa karena itu sudah menjadi keputusan. Lalu aku berpamitan, dan pulang ke rumah, tempat di mana aku dibesarkan.

      Sesampainya di sana. Aku menceritakan semuanya. Ibuku mulai menangis sambil mengelus-ngelus pundakku. Beberapa doa sempat kudengar dari mulutnya yang bercampur dengan isak tangis. Dulu, aku pernah menceritakan tentang hafsah kepada ibu, Semua yang ku ketahui tentang dirinya. Ku kira ia akan mengelak dan mengalihkan bicaraku. Tertanya tidak. Ia tertarik untuk berjumpa dengan sosok yang sudah terlanjur berada di bayangan pikiranya. Ia juga sempat melemparkan canda untuk memperkenalkan hafsah dengannya. Dan menyangkalnya dengan mengatakan. “ sudah lupakan saja”. Kala itu aku tidak peka dengan rasa ingin tahu ibuku. dan aku mengabaikannya.

 *****

          Beberapa waktu berlalu, Kini aku merasa lebih baik dibanding beberapa hari yang lalu. Berkumpul bersama keluarga dan berbagi tawa membuatku melupakan beban pikiran itu sejenak. Walau di beberapa waktu aku harus mengerang sakit.

        Aku mulai berpikir tentang anggaran belanja rumah tangga keluargaku. Jelas ini membuatku memutar otak kembali. Sempat ku tanyakan beberapa saran kepada ibuku tentang sembrawut pikiran ini. Dan ibuku menyarankan untuk memanfaatkan ijazah yang telah kudapatkan. Aku mencoba dan memulainya. Menawarkan keahlianku di beberapa instansi pemerintahan dan swasta. Namun itu tidak membuahkan hasil. Aku sempat menyerah dengan keadaan. Namun, ibuku tidak ingin melihatku menyerah.

         Suatu hari, aku bergerak meninggalkan tempat tinggalku dengan beberapa ijazah di tangan. Seakan terulang lagi tatapan para penumpang mini bus ketika mereka melihatku. Aku benar-benar gagah mengenakan kemeja ini. sampai angkutan yang ku tumpangi pun sampai di sebuah terminal. Aku memilih untuk turun dan mencoba keberuntunganku di sini.
Kabupaten Seulanga. Aku tiba kembali di sini. Tempat di mana aku pernah bekerja sebagai tukang sapu. Bersama sahabatku hafiz dan juga hafsah. Seraya kakiku menapak, aku sejenak keluar dari dimensi pilu yang selalu ku bawa. Saat melihat trotoar tempat aku beristirahat, gerbang sekolah tempat hafsah mengajar dan tiang listrik itu. Aku melihat jelas semuanya dengan perasaan tenang.

          Hari ini matahari tidak terik. Awan mendung sudah menaungi langit dari tadi pagi. Aku tetap berjalan dan singgah dari satu kantor ke kantor yang lain untuk melamar pekerjaan. Namun hasilnya tetap sama. Hingga azan maghrib terdengar dan aku bergegas shalat di sebuah mushalla. Setelahnya, aku berencana beranjak pulang walau dengan tangan kosong.

         Sesaat setelah kupakai sepatuku di tangga mushalla, hujan turun. Aku kegirangan sambil berjalan gagah, merasakan seperti ada sayap di punggungku. Sejenak aku juga berpikir bahwa aku dapat terbang dan memegang beberapa gumpalan awan.

          Aku kembali tiba di tempat komplikasi itu. Ku urung rencanaku untuk segera pulang dan memillih untuk duduk sejenak di bawah pohon rindang dekat sekolah hafsah mengajar. Bahkan aku tidak tahu apakah ia masih menjadi guru di sekolah itu atau tidak. Bagaimanapun, tempat ini telah mengukir banyak kenangan indah. Juga kawasan perkotaan ini.

         Ku bakar sebatang rokok yang sudah lama tersimpan di dalam tas. Aku tersenyum sendiri sambil memandang sosok barang yang hampir antic ini. Rasanya sudah basi. Aku menggunakannya setengah, lalu membuangnya. Di saat itu pula aku berencana bangkit sambil mengecek dan membereskan berkas-berkas yang berantakan di dalam tas. Ketika aku hendak beranjak dan menoleh, seorang perempuan bercadar duduk tak jauh di sebelah kananku. Aku terkejut dan hanya diam melihatnya menatap tajam ke arahku. Ku lepaskan pandanganku darinya dan benar-benar bangkit dari tempat dudukku, ia pun melakukan hal serupa. Ini mengejutkan, Aku melihat tangisan di wajahnya. Spontan aku berpikir bahwa ia adalah hafsah. Aku mendekat dan melepas penutup wajahnya. Ia benar-benar hafsah. Lalu aku tertegun sesak tanpa mampu membedakan perasaan sedih dan senang. Sesaat setelah itu, ia mengangkat dagunya dan melihat kearahku.

       “ Matamu masih coklat”. Candaku sambil menyeka beberapa tetes air mata yang terus jatuh.

    “ Kamu tidak marah karena aku memakai penutup mulut ini?”. Tanyanya sambil tersenyum.

      “ Jelas, aku marah”. Jawabku setengah tawa. Lalu aku beranjak ke bawah tiang listrik itu dan berdiri di bawahnya. Lalu ia berjalan pelan dan mendekat.

       “ Tok tok tok, boleh saya masuk? ”. Dia mulai tertawa dan aku berpura-pura marah.

       “ Kalau tidak boleh, bolehkah saya mentraktir coklat?,

   “Atau haruskah saya mendatangkan hujan dan juga angin?” Tanyanya sambil memercikkan air ke atas kepalaku lalu mengipasku dengan tas sampingnya.

    Aku tidak percaya ia masih ingat benar rayuan gombal itu. Saat pertama kali memergoki profesiku sebagai tukang sapu dan berdiri di tempat ini. Rasa bahagia ini membuatku sejenak lupa tentang keadaannya. Apakah ia sudah menikah dengan hafiz atau belum. Aku mencoba acuh dan meneruskan kebahagiaan singkat ini. Toh kupikir, setelah ini kami tidak akan berjumpa lagi.

        “ Lihatlah lampu jalan di atas kepala kita”. Aku mengajak.

        “ Jarang sekali aku melihat gerimis sejelas ini”. Ia menanggapi.

        Kami menengadah bersama-sama. Berbicara tentang sesuatu dengan mata tertutup dan merasakan keindahannya.

        “ Aku sempat menyimpan uangmu, lumayan banyak”.

        “ Kapan kamu menyimpannya” , aku mulai melihatnya.

    “ Setiap kali kamu mentraktir, aku menyimpan uangmu dan membayarnya dengan uangku”. tuturnya dengan tidak melihat ke arahku.

       “ Kenapa kamu menyimpannya?”.

      “ Kupikir, kamu akan membutuhkannya untuk melamarku”. ia menunduk sambil melihat kukunya sesekali.

aku melepas pandanganku ke arahnya dan mulai melihat lampu jalan itu lagi.

        “ Tapi sekarang, aku tidak membutuhkannya lagi. simpanlah. itu milikmu”.

       “ Jika ini milikku, maka aku ingin memberikannya. dengan ini kamu bisa melamar orang yang kamu cintai”.

       “ Kurasa, aku harus pulang sekarang”. aku berpura-pura tersenyum.

       “ Kamu telah menemukan penggantiku?”

       “ Kurasa kita tidak harus membahasnya”. aku tetap berpura-pura.

     “ Katakan dengan jujur karena setelah ini, kita tidak akan berjumpa lagi. coba lihat mobil itu, orang di dalamnya sedang menungguku karena kami akan segera pergi”.

Aku terdiam dan tidak mampu berkata apa-apa.

        “ Jawablah, sebelum aku pergi”. mimiknya mulai berubah.
      “ Tidak ada pengganti, masih tetap seperti dulu. kamu tentu tau itu“. dia tersenyum dan membuka tasnya.

     “ Maka ambil ini, dan lamarlah aku “. ia tersenyum dan beranjak meninggalkanku. sementara aku kebingungan dan hanya diam.

        “ Thanks untuk suasana lampu jalannya, aku suka”.

      Ia terus menjauh dan menaiki mobil itu. sedang aku menjadi patung di bawah lampu jalan, bingung. lalu ku buka amplop yang ia berikan. isinya uang lusuh namun rapi, Rp 587.000,- dan sepucuk surat cinta.

Surat Cinta Terakhir

Karena tidak akan ada lagi surat cinta setelah ini. Aku hanya ingin memberitahu bahwa ayah dan ibuku telah memutuskan pinangan hafiz. Tidak tahu alasan mereka karena aku tidak pernah memintanya. Yang kulakukan hanya memanjatkan doa di waktu-waktu mustajabah, Memohon agar orang tuaku mengerti tentang perasaanku setelah lamaran itu. aku juga tidak tau, apakah Allah telah mengabulkan doaku, atau doamu?. Yang jelas ini membahagiakan.

Semoga rezekimu halal dan lancar. Bersegeralah jika ingin bersegera. Jika tidak, itu juga bukan masalah. Karena aku tidak akan ke mana-mana. Dari detik surat ini kuserahkan, waktu menungguku telah berjalan. Menunggu kamu membawakan beberapa mahar untuk melamarku. Untuk uang di amplop ini, Belikanlah seperangkat alat shalat untukku. Aku ingin mengenakannya ketika aku menjadi makmum dalam shalatmu nanti.
Sampai jumpa di rumahku nanti,
Bahagia,
Dan gerimis di lampu jalan malam itu telah menjadi saksi tentang kebahagiaan ini. Sekarang, ia sedang tertidur di bahuku. kami telah memiliki 2 pasukan kecil. Dia adalah istri dan ibu yang baik.
Hafsah, teruslah memberikanku cinta. . .

0 komentar:

Posting Komentar