“ Nanti,
kalau ada informasi baru, aku kabari”. Tutur temanku sambil mengunyah makanan
ringan. Wajahnya mengerang kelelahan. Wajar saja, kami adalah pekerja Romusa yang berhati ikhlas. Setiap pagi
kami berseragam dengan tas jinjing hitam, layaknya lelaki mapan yang berdompet
tebal. Bahkan nyaris, setiap penumpang minibus yang pernah ku tumpangi terlihat
segan jika bertatap mata denganku. Mungkin aku terlihat gagah dengan setelan
kemeja itu.
Malam
itu, hafiz teman senasibku berencana pulang lebih awal. Karena kakaknya sedang
dirawat di rumah sakit. Kami istirahat sebentar sambil membicarakan keadaan
kakaknya. juga cost yang harus
dikeluarkan untuk melunasi biaya perawatan. Tak tampak raut sedih di wajahnya.
Entah karena disembunyikan, atau memang ia sedang tidak ingin memikirkannya.
Yang jelas, seperti biasanya. Banyak canda dalam waktu istirahat kami yang
sempit itu. sambil mengunyah makanan ringan yang teksturnya keras.
“ Gila ni
makanan 500-an !!!” , pekiknya sambil mengelus rahang
“ Hehehe,
berdoalah supaya cepat kaya”.
“ Tapi
aku yakin, suatu hari kita akan jadi orang kaya”. Ia berusaha bicara sambil
mengunyah makanan itu.
“ Kaya
hati mungkin?”.
“ Itu
nilai nominalnya, liat saja nanti kalau aku kaya, akan ku persunting si Dewi
yang sok-sok ilfeel waktu melihatku.”. Mimiknya yakin.
“ Mudah-mudahan
saja dia mau”
“ Pastinya
dia mau, kalau saja aku gak seperti ini”. Kali ini ia menghela nafas.
Kami berbincang singkat lalu ia
beranjak pulang. Rumah kami tidak searah. Kami selalu berpisah di persimpangan
jalan. Letak rumahnya jauh lebih dekat daripada tempat tinggalku. karena itu dia
selalu datang lebih awal ke lokasi kerja. Lalu berbicara sombong sambil tertawa
bangga dan menyindir.
“ Orang
sukses itu adalah orang yang disiplin, tidak seperti kamu yang selalu datang telat
”. jenakanya sambil menyenggol tubuhku
yang masih bau asap kendaraan.
“ Sombong”.
Sahutku melepas olokannya.
“Hmhmh”.
Dia bergumam.
“ Ini,
sapu yang paling bagus untuk kamu, aku pakai yang ini”.
Ia langsung
meraihnya sambil merangkul bahuku dengan tersenyum, membawaku jalan menuju
trotoar untuk membersihkan sampah. Ya, kami adalah penyapu jalanan. Pagi-pagi
sekali Kami harus tiba ke lokasi untuk membersihkan kota dari sampah jalanan
yang membanjiri. Bahkan atasan kami pun tak pernah tiba di kantornya sepagi
kami. Padahal, mereka punya kendaraan mewah yang bisa membawa mereka ke mana
saja.
Walaupun
profesi kami sebagai kuli kebersihan, bukan berarti kami manusia yang tidak bersekolah.
Aku dan temanku itu adalah sarjana strata satu yang merunduk karena di gerus
lapangan kerja. Ia yang pertama kali mengajakku untuk memegang gagang sapu dan
mencium aroma sampah yang bau. Dalihnya, tidak ada orang yang sukses dalam
waktu singkat. Tentunya, kita harus memulai semuanya dari bawah. dan aku tidak
membantah ajakannya. Ku iyakan saja untuk membuatnya senang. Pula, kantong
kosong juga menjadi alasan sekunder
untuk menerima ajakannya.
Ketika
itu pula, kami mengatur siasat untuk mengelabui orang tua agar mereka bangga.
Bangga karena mereka tidak merasa rugi setelah menyekolahkan kami di perguruan
tinggi. Karena itu, setiap pagi kami berpakaian rapi dari rumah dan pura-pura mengerjakan
tugas yang belum kami selesaikan di kantor ketika malam. Ibuku tersenyum bangga
sambil menasehati adikku yang paling kecil yang sedang mengerjakan PR.
“ Dedek
kalau mau sukses, harus sekolah tinggi-tinggi. Liat abang, sekarang uda kerja
di kantor”
Miris,
aku memejam erat sejenak. Lalu menarik nafas. Senyumannya kala melihatku
membuatku sulit. Apalagi saat gajian. Seluruh uangku kuberikan kepada ibu dan
kukatakan, itu setengah dari gajiku, selebihnya telah ku simpan untuk
keperluanku sehari-hari.
*****
Saat hari
pertama bekerja. Aku melihat secarik kertas yang ditempel di gagang sapu
partnerku itu. Ku kira itu Cuma perilaku kurang
kerjaan-nya yang selalu kulihat. Nyatanya, itu adalah daftar mimpinya yang
telah dirancang. Dari menjadi tukang sapu sampai menempuh program Doctor di salah satu Universitas ternama
di Indonesia. Karenanya, aku juga ikut-ikutan merancang mimpi-mimpi yang terus
bermain di pikiran, lalu kulupakan begitu saja.
Namun,
kebersamaan kami terpecah. Saat proposal beasiswanya di Dikti rampung. Padahal
saat itu, kami menyusun proposal itu dengan format yang sama. Tapi, aku tidak
pupus karena kejadian itu. Di satu sisi, aku salut dengan mimpi-mimpi dan
semangatnya yang tinggi. Namun, Di sisi lain aku juga merasa sedih karena
setelah ini, kami akan mengejar mimpi masing-masing tanpa seiring langkah lagi.
Lalu Aku hanya tersenyum lemas, melihatnya kegirangan sambil memainkan sapunya
di hari terakhir ia bekerja.
“ Aku
akan menikahi Dewi !!” Ia meneriaki sapunya
“ Kamu
tau? aku akan pergi dan meninggalkan kamu sendiri di sini. Tapi . . .
tenanglah, Setelah kantongku tebal, aku akan meminjamimu uang untuk menikahi
hafsah”. Candanya gamblang sambil menepuk bahuku.
Setelah
hari itu, ia tak pernah tampak lagi. Hanya sapunya yang tinggal dan membuatku
menjadi orang bodoh. aku selalu membawa dua sapu setiap pagi, punyaku dan
miliknya. Bahkan, saat aku melepas penat. Duduk di trotoar jalan dengan wajah
kumuh sambil meneguk air dingin.
*****
2 tahun telah berlalu. Rahasia yang
selama ini ku sembunyikan dari orang tuaku telah terbongkar. Ia begitu pilu
ketika tahu, bahwa selama ini aku membohonginya. Hari-hari berwarna suram kali
itu. Seperti hancur, namun harus selalu tersenyum. Seperti kata hafsah. Sang
Bunga warna warni yang tidak mau lekang dari dasar hati.
Aku dan hafsah telah lama
bersama. Semuanya dimulai ketika kami masih menimba ilmu di sebuah perguruan
tinggi di daerahnya. Sebelumnya, aku telah dibuat bingung oleh suasana hati
yang kalang kabut. Mencari cinta yang telah lama tak kurasakan lagi. Lalu aku
terkejut, setelah banyak malam yang kuhabiskan untuk mengadu kepada Sang Khaliq
dengan perasaan malu. Terkejut saat kutemukan jawaban dari semua pintaku yang
tidak banyak. Rupanya, Keindahan yang selama ini kucari adalah dia. Perempuan
yang selalu ku ajak tertawa dan sebagainya. Bodoh, aku mengunduh tersenyum
buta.
Awalnya, aku menyembunyikan
pekerjaanku kepada hafsah. Namun, ia terlanjur tahu setelah beberapa kali
memperhatikan saat aku bertugas tepat di depan sekolah tempat ia mengajar.
Memang aku menutup seluruh tubuhku dengan seragam kuning serta mengenakan
penutup mulut. Namun, ia begitu hafal cara berjalanku, cara aku bergerak dan
lain-lain. ketika itu, ia menghampiri dan menarik penutup mulutku dengan
berani.
“ kenapa kamu tidak pernah
cerita?”. Matanya berkaca-kaca.
Aku hanya diam karena tidak tahu
harus memulai jawaban itu dari mana. Lekas ia beranjak dan menungguku di
trotoar dekat tiang listrik. Padahal, banyak pohon rindang yang bisa ia pilih
untuk menghindari sengatan terik matahari. Aku tahu, ia ingin aku bergegas
menyelesaikan pekerjaanku dan tidak membiarkannya berdiri di sana. Aku
mengumpulkan beberapa sampah dan bergegas menghampirinya.
“ Jaki, hari ini aku shift ya? , besok jatahmu aku yang ganti
!!” , pekikku tanpa basa basi.
Aku menghampiri dan mengajaknya
untuk berbicara sejenak. Sambil membujuknya untuk beranjak dari tempat itu
dengan caraku. Lalu kami duduk di sebuah kios liar yang berada di tepi jalan
dan mulai menceritakan semuanya. Ku ceritakan dari masalah ibu, juga hafiz yang
telah pergi melanjutkan pendidikannya. Ia hanya tertegun, menunduk sambil
terisak seperti tidak mendengarkan cerita panjang lebarku. Sampai setiap mata
tertuju ke arah kami. Mungkin mereka bingung, kenapa seorang penyapu jalanan
telah membuat guru itu menangis. Aku sudah tak peduli karena terlanjur panik.
Namun setelahnya, aku di ikat janji untuk tidak menyembunyikan apapun darinya.
lalu aku mengiyakan.
Setelah hari itu, ia mulai kembali
seperti dulu. Seperti ketika ia tidak mengetahui tentang aku dan pekerjaanku.
Terkadang, ia datang dan membawakan sedikit cemilan saat waktu shalat tiba
sambil melepas beberapa canda. Setiap bulan, kami juga pergi ke warung nasi
yang agak elegan untuk menghabiskan sedikit bagian dari gaji kami. Saling
mentraktir ketika waktu gajian kami tiba. Ia cerdas untuk tidak memberatkanku.
Ketika gajinya cair, ia mentraktirku dengan memesan menu eksklusif tanpa
menanyakannya terlebih dahulu. Namun, saat waktu gajianku tiba, ia tidak ingin
memesan menu makanan seperti menu makanan yang pernah ia traktir. Aku pernah
mencoba untuk memesan seperti caranya. Namun, ia tidak ingin memakannya dan
menyuruh pelayan untuk membungkusnya. Saat beranjak menaiki angkutan untuk pulang,
ia membuka tasku dan memasukkan makanan tersebut ke dalamnya. Saat pintu mobil
nyaris tertutup. Ia tersenyum dan mengatakan “ berikan untuk ibu saja”. Mobil
terus melaju, dan aku bingung sambil melihatnya yang semakin jauh.
*****
Suatu hari, aku ditugaskan jauh
dari lokasi yang biasanya. Kabid
keindahan dan kenyamanan di dinas kami, menaikkan jabatanku menjadi Danton para Romusa itu. Pekerjaanku tentu tidak seberat dulu lagi. Atasanku
telah menjelaskan bahwa posisiku hanya sebagai monitoring. Tapi entah kenapa aku tidak kegirangan. Rasanya berat meninggalkan lokasi
kerjaku yang dulu. Aku ingat setiap sudut tempatnya. Juga beberapa kenangan
indah yang menaikkan semangat kerjaku.
Sempat kukabarkan
kepada hafsah tentang mutasi itu. Ia mengatakan bahwa ia senang dengan kenaikan
jabatanku. Namun, senyumannya palsu. Pula senyumku. Di hari pertama
kerja, aku sempat singgah di depan sekolah tempat ia mengajar. Dan mencoba untuk menghubunginya untuk
kesekian kali. Namun tidak ada kabar
darinya. Prasangkaku Mungkin ia sedang sibuk. Lantas, aku lekas berangkat ke lokasi kerjaku yang baru, kurang
lebih 40 km dari lokasi awal sambil meninggalkan beberapa pesan lewat sms.
Jarak
tempuh yang begitu jauh, mengharuskanku untuk menetap sementara di sana. Aku
menyewa rumah yang tidak besar. Cukup
untuk ruang tidur, masak, mandi dan menonton televisi. Aku juga
menyempatkan waktu untuk menghubunginya. Dan sesekali pulang berjumpa untuk
melepas sesak. Masih seperti dulu. Mentraktir dan ditraktir. Namun, kesibukan
masing-masing dan jarak yang jauh akhirnya membuat kedekatan kami menjadi
sedikit renggang. Kami hanya dapat menjalin komunikasi via telepon selular.
*****
2
setengah tahun bukanlah waktu yang singkat. Aku menjalaninya dengan berat. Jauh
dari orang tua, kerabat dan orang-orang yang disayang. Tidak bisa berbuat
banyak. Aku hanya menjalani setiap detiknya hanya dengan semangat untuk mencukupi
kebutuhan keluarga. Juga sedikit tabungan untuk melamar hafsah. Meskipun, belum begitu banyak.
Suatu
hari, aku mendapatkan telepon dari seorang laki-laki yang bersuara segak namun
sangat familiar.
“Bung,
lagi di mana?”, tanyanya lantang.
“Di
bukit barisan, ini siapa?” Aku penasaran.
“ Hafiz” , cetusnya dingin.
Aku
spontan terkejut karena Selama ini,
dia tidak pernah menghubungiku. perbincangan terjadi dan Basa basi kami pun melayang. Namun, ada
yang hilang dari dirinya. Bicaranya sangat teratur. Jauh berbeda dengan hafiz
yang dulu.
Hafiz
memberi kabar bahwa ia sudah pulang. Dan mengajakku untuk bertemu di sebuah
warung kopi yang tak jauh dari rumahnya. Aku mengiyakan permintaannya. Dan
mulai merancang waktu. Lusa hari, pertemuan itu akan terjadi. Aku membayangkan
tentang perubahan-perubahan yang akan ku lihat nanti. Pastinya, ia akan terlihat
berbeda.
*****
Hari
ini, saptu. Aku berpakaian rapi tak seperti biasanya. Memakai dasi dan tas
jinjing hitam. Layaknya dulu, saat aku masih menjadi buruh sapu. Pula
mengendarai sepeda motor yang tergolong butut untuk jaman sekarang. Satu
setengah jam perjalanan dan aku
sampai ke lokasi. Sesampainya di sana, aku tidak melihat Hafiz. Lantas aku bergerak masuk ke warkop itu dan memesan
secangkir kopi saring. Menunggu sambil membaca koran hari ini.
3 jam
berlalu. Aku mulai menopang kepala, memperlihatkan kebosananku pada waktu. Meja
kopinya sampai berdenyit karena kakiku yang terus kugoyangkan untuk mengatasi
rasa kantuk. Aku sudah mencoba untuk menghubungi sebelumnya. Namun, entah kenapa handphone-nya
tidak aktif.
“ Mungkin sebentar lagi”. Aku mencoba meyakinkan diri untuk
tidak pulang.
Ku ulang-ulang kalimat itu setiap kali pikiranku berubah. Aku terus duduk dan tidak beranjak. Kadang-kadang, ku
perhatikan detik jam dinding yang bergerak selangkah demi selangkah. Sudah jam
3, aku melipat tanganku dan merebahkan kepala. Sesekali menguap dan tertidur
sebentar. Jam 4, aku mulai berkeringat sampai sebahagian bajuku basah. Jam 5, aku bertekat beranjak
pulang. Ku panggil pelayan warkop dan ia mulai menghitung 4 gelas kopi yang
telah ku minum. Aku melangkah dengan kecewa. Ku longgarkan dasi dan menghela
beberapa nafas panjang.
Namun
tiba-tiba, saat aku mengeluarkan sepeda
motorku dari lokasi parkiran, sebuah
sedan berkelas berhenti tepat di hadapanku. Kaca mobilnya di turunkan. Tampak
pria gagah dengan pakaian jas, memperhatikanku dari dalam mobilnya. Aku spontan
terkejut dan memanggil namanya. Lalu ia turun dan menghampiriku. dengan ekspresi yang tak sama.
“ Bagaimana kabarmu?”. Tanyanya santai. Sangat berbeda
dengan kepribadiaannya yang dulu.
“ Alhamdulillah, baik”. Aku melebarkan senyuman. Sengaja
tak kutanyai kabarnya agar ia merespon. Tapi nihil.
“ Yuk, kita ngobrol di dalam”. Ajakku
“Tidak usah”. Lagi-lagi jawaban singkat.
“ Lalu bagaimana?”. Tanyaku setengah tawa.
“ Di sini saja, aku ingin memberi tahumu sesuatu dan
sebentar saja”
“ Boleh”. Keningku mengerut.
“ Maaf sebelumnya jika aku telat”.
“ Itu bukan masalah”.
“ Aku baru saja pulang, melamar hafsah”. Tuturnya singkat,
tak berani melihat mataku.
“ Bercanda?”. Aku tertawa padam.
“ Aku melamar hafsahmu”. Kali ini ia melihatku dengan tajam.
Pelan-pelan,
tawaku menjadi sukar. Entah bagaimana, aku langsung yakin bahwa yang
disampaikannya bukanlah lelucon.
“
kenapa?”. Gigiku saling menggigit dan mulai ku genggam tinjuku dengan erat.
Ia hanya
diam. Seperti pasrah jika aku menghajarnya. Ia melihatku
dengan santai. Wajahnya tak menampakkan mimik penyesalan. Ku unduh emosiku, lalu bergerak ke belakang dan pergi bersama sepeda motorku,
meninggalkannya.
*****
Malam itu, aku menghubungi hafsah dengan perasaan hancur. Aku
menanyakannya tentang pinangan hafiz untuk mencari penjelasan. Sesaat setelah NSP nya berbunyi, aku langsung mendengar suaranya yang parau.
Sepintas, beberapa pertanyaan kulayangkan dengan tenang. Ia menjawab dan di
beberapa waktu ia diam.
Sabtu pagi, hafiz datang bersama keluarganya untuk melamar hafsah. Orang tuanya
pun menyambut baik kedatangan mereka. Kemudian, topik pembicaraan mereka mulai
meruncing. Hafsah masuk ke kamar dan mengerjakan beberapa tugasnya. Tak lama
kemudian, ia dipanggil orang tuanya. Lantas, ia keluar dan melihat hafiz serta keluarganya berpamitan untuk pulang. Hafsah menyalami
setiap dari mereka dan mereka pun beranjak.
Ia
tidak terkejut setelah mendengar pernyataan ayahnya bahwa maksud kedatangan
mereka adalah untuk melamar. Hafsah sudah tahu. Namun, yang ingin ia ketahui apakah orang tuanya menerima atau menolak lamaran tersebut.
Jawabannya adalah “diterima”. Dan
dunianya pun berubah. Begitu pula dengan duniaku. Tak akan sama lagi.
*****
Etos
kerjaku hancur. Beberapa kali atasanku memberi teguran. Namun aku hanya diam.
Suatu hari, aku melayangkan surat pengunduran diri. Dan permohonanku disetujui.
Aku mendapatkan gaji pesangon.
Atasanku yang menyerahkannya. Ia mengatakan kepadaku bahwa ia kecewa. Namun, ia
tidak dapat berkata apa-apa karena itu sudah menjadi keputusan. Lalu aku berpamitan,
dan pulang ke rumah, tempat di mana aku dibesarkan.
Sesampainya
di sana. Aku menceritakan semuanya. Ibuku mulai menangis sambil mengelus-ngelus
pundakku.
Beberapa doa sempat kudengar dari mulutnya yang bercampur dengan isak tangis.
Dulu, aku pernah menceritakan tentang hafsah kepada ibu, Semua yang ku ketahui
tentang dirinya. Ku kira ia akan mengelak dan mengalihkan bicaraku. Tertanya tidak.
Ia tertarik untuk berjumpa dengan sosok yang sudah terlanjur berada di bayangan
pikiranya. Ia juga sempat melemparkan canda untuk memperkenalkan hafsah
dengannya. Dan menyangkalnya dengan mengatakan. “ sudah lupakan saja”. Kala itu
aku tidak peka dengan rasa ingin tahu ibuku. dan aku mengabaikannya.
*****
Beberapa waktu berlalu, Kini aku
merasa lebih baik dibanding beberapa hari yang lalu. Berkumpul bersama keluarga
dan berbagi tawa membuatku melupakan beban pikiran itu sejenak. Walau di
beberapa waktu aku harus mengerang sakit.
Aku mulai berpikir tentang
anggaran belanja rumah tangga keluargaku. Jelas ini membuatku memutar otak
kembali. Sempat ku tanyakan beberapa saran kepada ibuku tentang sembrawut
pikiran ini. Dan ibuku menyarankan untuk memanfaatkan ijazah yang telah kudapatkan.
Aku mencoba dan memulainya. Menawarkan keahlianku di beberapa instansi
pemerintahan dan swasta. Namun itu tidak membuahkan hasil. Aku sempat menyerah
dengan keadaan. Namun, ibuku tidak ingin melihatku menyerah.
Suatu hari, aku bergerak meninggalkan
tempat tinggalku dengan beberapa ijazah di tangan. Seakan terulang lagi tatapan
para penumpang mini bus ketika mereka melihatku. Aku benar-benar gagah
mengenakan kemeja ini. sampai angkutan yang ku tumpangi pun sampai di sebuah
terminal. Aku memilih untuk turun dan mencoba keberuntunganku di sini.
Kabupaten Seulanga. Aku tiba
kembali di sini. Tempat di mana aku pernah bekerja sebagai tukang sapu. Bersama
sahabatku hafiz dan juga hafsah. Seraya kakiku menapak, aku sejenak keluar dari
dimensi pilu yang selalu ku bawa. Saat melihat trotoar tempat aku beristirahat,
gerbang sekolah tempat hafsah mengajar dan tiang listrik itu. Aku melihat jelas
semuanya dengan perasaan tenang.
Hari ini matahari tidak terik. Awan
mendung sudah menaungi langit dari tadi pagi. Aku tetap berjalan dan singgah
dari satu kantor ke kantor yang lain untuk melamar pekerjaan. Namun hasilnya
tetap sama. Hingga azan maghrib terdengar dan aku bergegas shalat di sebuah
mushalla. Setelahnya, aku berencana beranjak pulang walau dengan tangan kosong.
Sesaat setelah kupakai sepatuku
di tangga mushalla, hujan turun. Aku kegirangan sambil berjalan gagah,
merasakan seperti ada sayap di punggungku. Sejenak aku juga berpikir bahwa aku
dapat terbang dan memegang beberapa gumpalan awan.
Aku kembali tiba di tempat
komplikasi itu. Ku urung rencanaku untuk segera pulang dan memillih untuk duduk
sejenak di bawah pohon rindang dekat sekolah hafsah mengajar. Bahkan aku tidak
tahu apakah ia masih menjadi guru di sekolah itu atau tidak. Bagaimanapun,
tempat ini telah mengukir banyak kenangan indah. Juga kawasan perkotaan ini.
Ku bakar sebatang rokok yang
sudah lama tersimpan di dalam tas. Aku tersenyum sendiri sambil memandang sosok
barang yang hampir antic ini. Rasanya sudah basi. Aku menggunakannya setengah,
lalu membuangnya. Di saat itu pula aku berencana bangkit sambil mengecek dan
membereskan berkas-berkas yang berantakan di dalam tas. Ketika aku hendak
beranjak dan menoleh, seorang perempuan bercadar duduk tak jauh di sebelah
kananku. Aku terkejut dan hanya diam melihatnya menatap tajam ke arahku. Ku lepaskan
pandanganku darinya dan benar-benar bangkit dari tempat dudukku, ia pun
melakukan hal serupa. Ini mengejutkan, Aku melihat tangisan di wajahnya. Spontan
aku berpikir bahwa ia adalah hafsah. Aku mendekat dan melepas penutup wajahnya.
Ia benar-benar hafsah. Lalu aku tertegun sesak tanpa mampu membedakan perasaan
sedih dan senang. Sesaat setelah itu, ia mengangkat dagunya dan melihat
kearahku.
“ Matamu masih coklat”. Candaku sambil
menyeka beberapa tetes air mata yang terus jatuh.
“ Kamu tidak marah karena aku
memakai penutup mulut ini?”. Tanyanya sambil tersenyum.
“ Jelas, aku marah”. Jawabku setengah
tawa. Lalu aku beranjak ke bawah tiang listrik itu dan berdiri di bawahnya. Lalu
ia berjalan pelan dan mendekat.
“ Tok tok tok, boleh saya masuk?
”. Dia mulai tertawa dan aku berpura-pura marah.
“ Kalau tidak boleh, bolehkah
saya mentraktir coklat?,
“Atau haruskah saya mendatangkan
hujan dan juga angin?” Tanyanya sambil memercikkan air ke atas kepalaku lalu
mengipasku dengan tas sampingnya.
Aku tidak percaya ia masih ingat benar rayuan
gombal itu. Saat pertama kali memergoki profesiku sebagai tukang sapu dan
berdiri di tempat ini. Rasa bahagia ini membuatku
sejenak lupa tentang keadaannya. Apakah ia sudah menikah dengan hafiz atau
belum. Aku mencoba acuh dan meneruskan kebahagiaan singkat ini. Toh kupikir,
setelah ini kami tidak akan berjumpa lagi.
“ Lihatlah lampu jalan di atas
kepala kita”. Aku mengajak.
“ Jarang sekali aku melihat
gerimis sejelas ini”. Ia menanggapi.
Kami menengadah bersama-sama. Berbicara
tentang sesuatu dengan mata tertutup dan merasakan keindahannya.
“ Aku sempat menyimpan uangmu,
lumayan banyak”.
“ Kapan kamu menyimpannya” , aku mulai
melihatnya.
“ Setiap kali kamu mentraktir,
aku menyimpan uangmu dan membayarnya dengan uangku”. tuturnya dengan tidak
melihat ke arahku.
“ Kenapa kamu menyimpannya?”.
“ Kupikir, kamu akan
membutuhkannya untuk melamarku”. ia menunduk sambil melihat kukunya sesekali.
aku melepas pandanganku ke
arahnya dan mulai melihat lampu jalan itu lagi.
“ Tapi sekarang, aku tidak
membutuhkannya lagi. simpanlah. itu milikmu”.
“ Jika ini milikku, maka aku
ingin memberikannya. dengan ini kamu bisa melamar orang yang kamu cintai”.
“ Kurasa, aku harus pulang
sekarang”. aku berpura-pura tersenyum.
“ Kamu telah menemukan
penggantiku?”
“ Kurasa kita tidak harus
membahasnya”. aku tetap berpura-pura.
“ Katakan dengan jujur karena
setelah ini, kita tidak akan berjumpa lagi. coba lihat mobil itu, orang di
dalamnya sedang menungguku karena kami akan segera pergi”.
Aku terdiam dan tidak mampu
berkata apa-apa.
“ Jawablah, sebelum aku pergi”.
mimiknya mulai berubah.
“ Tidak ada pengganti, masih
tetap seperti dulu. kamu tentu tau itu“. dia tersenyum dan membuka tasnya.
“ Maka ambil ini, dan lamarlah
aku “. ia tersenyum dan beranjak
meninggalkanku. sementara aku kebingungan dan hanya diam.
“ Thanks untuk suasana lampu jalannya,
aku suka”.
Ia terus menjauh dan menaiki
mobil itu. sedang aku menjadi patung di bawah lampu jalan, bingung. lalu ku
buka amplop yang ia berikan. isinya uang lusuh namun rapi, Rp 587.000,- dan
sepucuk surat cinta.
Surat Cinta Terakhir
Karena
tidak akan ada lagi surat
cinta setelah ini. Aku hanya ingin memberitahu bahwa ayah dan ibuku
telah
memutuskan pinangan hafiz. Tidak tahu alasan mereka karena aku tidak
pernah
memintanya. Yang kulakukan hanya memanjatkan doa di waktu-waktu
mustajabah, Memohon agar orang tuaku mengerti tentang perasaanku setelah
lamaran itu. aku
juga tidak tau, apakah Allah telah mengabulkan doaku, atau doamu?. Yang
jelas
ini membahagiakan.
Semoga rezekimu halal dan lancar. Bersegeralah jika ingin bersegera. Jika tidak, itu juga bukan masalah. Karena
aku tidak akan ke mana-mana. Dari detik surat ini kuserahkan, waktu menungguku
telah berjalan. Menunggu kamu membawakan beberapa mahar untuk melamarku. Untuk
uang di amplop ini, Belikanlah seperangkat alat shalat untukku. Aku ingin mengenakannya
ketika aku menjadi makmum dalam shalatmu nanti.
Sampai jumpa di rumahku nanti,
Bahagia,
Dan gerimis di lampu jalan malam
itu telah menjadi saksi tentang kebahagiaan ini. Sekarang, ia sedang tertidur di bahuku. kami
telah memiliki 2 pasukan kecil. Dia adalah istri dan ibu yang baik.
Hafsah, teruslah memberikanku
cinta. . .
0 komentar:
Posting Komentar